Banda Aceh (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berencana mengadakan peringatan seabad meninggalnya pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang dimakamkan di Sumedang Jawa Barat.
"Kita punya keinginan memperingati 100 tahun meninggalnya Cut Nyak Dhien, salah seorang pahlawan besar," kata Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) Aceh, Raihan Putri Ali Muhammad, di Banda Aceh, Rabu.
Dalam pertemuan bulanan BPPPA, Raihan mengatakan peringatan itu bertujuan untuk mengenang kembali jasa-jasa Cut Nyak Dhien di kalangan kaum muda bahwa Aceh memiliki pahlawan perempuan yang berjasa melawan penjajah Belanda.
Husni Arifin dari Aceh Independent Institute mengatakan alasan diperingatinya seabad Cut Nyak Dhien bertepatan dengan momentum 100 tahun meninggalnya pahlawan tersebut pada 6 November 2008.
"Kita tahu banyak pahlawan perempuan Aceh lainnya yang berjasa seperti Cut Mutia dan Malahayati, tetapi selain bertepatan dengan seabad meninggalnya Cut Nyak Dhien dan ia merupakan tokoh yang paling dikenal khalayak," tambahnya.
Bahkan terhadap pahlawan nasional yang memperjuangkan emansipasi perempuan, Kartini, menurut beberapa sumber yang berhasil dikumpulkan, Cut Nyak Dhien telah lebih dulu memperjuangkan kesetaraan gender.
Cut Nyak Dhien telah menggantikan suaminya Teuku Umar yang juga seorang pahlawan nasional yang terbunuh saat melawan Belanda. Selain sebagai pelaku perang, ia adalah pemimpin kaum, pahlawan garis depan, istri pejuang, ibu rumah tangga dan aktor bagi isu gender.
"Pemerintah Kabupaten Sumedang saja berniat melaksanakan peringatan 100 tahun berpulangnya Cut Nyak Dhien, masa kita yang punya pahlawan sama sekali tidak perduli," katanya.
Bahkan orang Aceh sendiri tidak mengetahui secara pasti mengenai kehidupan Cut Nyak Dhien yang ironisnya sangat dikenal oleh masyarakat luar, khususnya Belanda. Keluarga yang masih tersisa juga kurang mendapatkan perhatian.
Untuk itu Aceh Independent Institute mewacanakan peringatan Cut Nyak Dhien dalam tiga tahap, yaitu untuk jangka pendek seperti lomba menulis esai tentang Cut Nyak Dhien, pemberian Anugerah Cut Nyak, untuk jangka menengah dengan mendirikan monumen pahlawan serta jangka panjang.
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Aceh Besar pada 1848 dari keturunan bangsawan, ia berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Setalah suaminya tewas di Gle Tarum pada 29 Juni 1878, ia menikah dengan Teuku Umar, salah satu tokoh pejuang yang melawan Belanda pada 1880. Bersama Teuku Umar, ia bertempur melawan Belanda, namun Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada11 Februari 1899.
Setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Meski ia telah lanjut usia dan menderita penyakit serta rabun sehingga seorang pasukannya yang bernama Pang Laot Ali melaporkan keberadaannya karena iba.
Akhirnya ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh untuk dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun karena Belanda khawatir keberadaanya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh sehingga ia dipindahkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Di pengasingannya identitasnya disembunyikan Belanda dan ia dipanggil dengan sebutan Ibu Prabu dari seberang. Ia mengisi hari-harinya dengan mengajar ngaji meskipun dalam kondisi mata tidak dapat melihat lagi.
Ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008