Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanagara di Proinsi Kalimantan Timur adalah kebijakan hukum yang sangat futuristik bagi masa depan Indonesia, khususnya bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan yang lebih modern.Menurut dia, UU itu mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai ibu kota negara.
Menurut Fahri, dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu, konsekuensi dari pemidahan ibu kota tersebut secara teknis maka seluruh lembaga negara utama harus ikut dipindahkan ke lokasi ibu kota baru, karena hal itu merupakan organ konstitusional, seperti Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, BPK, KPU, dan lain-lain.
Selain itu, katanya, berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat organik maupun sektoral juga yang harus diperbaharui sepanjang yang berkaitan dengan status badan, lembaga yang berkaitan dengan ibu kota negara.
"Tetapi, itu adalah hal yang sifatnya teknis dan tidak berat untuk dikerjakan. Itu yang merupakan implikasi teknis ketatanegaraan," ujar Fahri.
Fahri juga menyampaikan sejarah penamaan awal mula ibu kota, pertama kali tertuang dalam Perpres No. 2 Tahun 1961 Tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS No. 2 Tahun 1961.
Menurut dia, dalam konsideransinya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibu kota negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia, sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin.
"Landasan yuridis berikutnya adalah UU No. 10 Tahun 1964. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya tetap sebagai ibu kota negara dengan nama Jakarta," katanya pula.
Namun, menurut Fahri, ketika Orde Baru berkuasa Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU No. 11 Tahun 1990 tentang susunan pemerintahan, meskipun pada masa Soekarno pada bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1964 ditegaskan bahwa Jakarta sebagai kota pencetusan Proklamasi dan pusat penggerak segala kegiatan dan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.
"Dalam konsideransinya disebutkan Jakarta sebagai ibu kota Indonesia memiliki kedudukan dan peranan penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia,” katanya.
Baca juga: Riset I2: Milineal banyak bahas pemindahan ibu kota di media sosial
Apa yang pernah diubah Presiden Soeharto tersebut, kata Fahri, pada saat reformasi tahun 1998, Presiden BJ Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU No. 34 Tahun 1999.
Menurut dia, UU itu mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai ibu kota negara. Demikian pula ketika era Presidan Susilo Bambang Yudhoyono yang melahirkan UU No. 29 Tahun 2007.
Menurut Fahri, dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan ibu kota ke kota lain tak otomatis mengubah kekhususan Jakarta, sebab secara teoritik tergantung pilihan politik hukum dari para pembentuk UU.
"Artinya bisa saja tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas ibu kota Batavia, atau karena Jakarta merupakan bekas ibu kota negara, atau alasan-alasan khusus lainnya yang secara faktual dapat diterima sebagai 'legal reasoning' bahwa Jakarta diberikan status khusus oleh UU dan secara hukum tata negara dapat diterima. Jadi itu tergantung politik hukum pembentuk UU," kata Fahri.
Menurut Fahri, argumen hukum tersebut dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selama memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan UU, katanya, secara konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah.
Baca juga: KPK akan pindah ke ibu kota baru di Kaltim
Hal ini dapat dibandingkan dengan keistimewaan Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya, sehingga secara teoritik saya berpendapat bahwa Jakarta layak tetap menyandang status khusus atau istimewa sebagai bekas Ibu kota negara nantinya, ujar Fahri.
Dalam konstitusi, Fahri menyebut setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang ibu kota negara. Hal tersebut terdapat pada ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 23G ayat (1) UUD 1945.
Menurut dia, sejarah ketatanegaraan yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara setidaknya pernah beberapa kali ibu kota negara dipindahkan, walaupun secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara, yaitu dari Jakarta ke Yogyakarta dan ketika Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi Sumatera Barat.
"Secara konstitusional berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) dan ketentuan pasal 25A UUD 1945, Presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibu kota negara RI yang selanjutnya akan dibahas secara operasional dalam bentuk pengajuan RUU terkait pemindahan itu beserta segala akibat hukumnya, serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai UU terkait bersama dengan DPR," kata Fahri.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019