Celestine, inovator 16 tahun yang diakui Google

28 Agustus 2019 19:03 WIB
Celestine, inovator 16 tahun yang diakui Google
Celestine Wenardy, siswa kelas 2 SMA dari British School Jakarta yang mendapatkan penghargaan dari perusahaan teknologi raksasa Google atas inovasinya menemukan alat pengukur gula darah noninvasif dengan menggunakan cahaya dan suhu tubuh. (ANTARA/Aditya Ramadhan)

Saya terinspirasi membuat ini setelah baca report WHO, diabetes sebabkan 6 persen kematian di Indonesia, sekarang sayangnya sudah naik jadi 8,5 persen. Menurut saya ini karena banyak orang mengidap diabetes di Indonesia tidak terdiagnosa, saya membua

Di dalam film animasi Big Hiro 6 garapan Walt Disney, karakter utamanya seorang anak laki-laki jenius bernama Hiro melakukan serangkaian penelitian di garasi rumahnya untuk menciptakan robot.

Anak laki-laki yang baru memasuki universitas itu menghabiskan waktu berhari-hari, siang dan malam, bahkan hingga tidur di laboratorium garasi rumahnya sampai akhirnya berhasil menciptakan robot.

Kisah dalam film animasi itu tidak sepenuhnya imajinasi, karena di dunia nyata, bahkan di Indonesia sebagai negara dunia ketiga, ada seorang siswi SMA yang juga menghabiskan waktunya berhari-hari untuk melakukan penelitian guna menciptakan sesuatu.

Celestine Wenardy menghabiskan waktunya di laboratorium sekolah dan rumahnya setiap hari, begadang, atau bahkan sampai tidak tidur selama dua malam hanya untuk melakukan penelitian demi menciptakan alat kesehatan pengukur kadar gula darah hasil inovasinya sendiri.

Gadis berusia 16 tahun yang duduk di bangku kelas 2 SMA British School Jakarta ini membuat alat pengukur kadar glukosa dalam tubuh yang noninvasif atau tanpa melukai tubuh dengan mengambil sampel darah pasien seperti alat glukometer yang ada saat ini.

Secara umum, glukometer buatan Celestine hanya memanfaatkan suhu tubuh dan cahaya untuk mengetahui kadar gula darah seseorang. Caranya, salah satu jari pasien hanya perlu dimasukan ke dalam alat glukometer untuk kemudian diketahui kadar glukosanya. Berdasarkan pengukuran, tingkat akurasi glukometer ciptaan Celestin mencapai 99 persen atau sangat akurat.

Celestine memiliki minat di bidang fisika dan kimia. Dia juga tertarik untuk melakukan inovasi di dunia kesehatan, khususnya alat-alat kesehatan yang dapat menunjang layanan kesehatan bagi orang-orang yang sakit.

Baca juga: Menkes kagumi Celestine siswa penemu inovasi pengukur gula darah


Tidak terkontrol

Dia terinspirasi untuk membuat glukometer yang mudah dan murah karena melihat kondisi penyakit diabetes di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

"Saya terinspirasi membuat ini setelah baca report WHO, diabetes sebabkan 6 persen kematian di Indonesia, sekarang sayangnya sudah naik jadi 8,5 persen. Menurut saya ini karena banyak orang mengidap diabetes di Indonesia tidak terdiagnosa, saya membuat alat ini supaya orang-orang bisa terdiagnosa dan mendapat pengobatan yang mereka perlukan," tutur Celestine.

Celestine memulai risetnya sejak tahun 2018 dan sudah berjalan satu tahun hingga saat ini. Glukometer ciptaannya dibuat sendiri di laboratorium teknologi British School Jakarta dan juga di rumah.

Dia menyebut walau sekolahnya memiliki fasilitas laboratorium yang lengkap, bagaimanapun juga laboratorium itu adalah laboratorium SMA yang berbeda dengan lab profesional seperti yang ada di perguruan tinggi dan digunakan para peneliti.

Hari-harinya Celestine lebih banyak didedikasikan untuk penelitian. Bahkan, jika harus memilih antara mengerjakan PR atau melakukan penelitian, Celestine lebih memilih ke laboratorium.

"Jadi kalau harus milih PR atau riset, saya dari dulu memang selalu prioritas riset sih. Hahaha..." tutur Celestine diiringi gelak tawa.

Tidak jarang penelitiannya mengalami kendala karena keterbatasan alat lantaran laboratorium sekolahnya bukanlah laboratorium profesional. Tapi tidak jarang juga Celestine menciptakan sendiri alat yang dibutuhkannya menggunakan printer 3D guna menyelesaikan penelitian.

"Tapi kalau misalnya saya ada kurang instrumen, saya sering bikin alat sendiri untuk mengerjakan, saya mensitesis molekul sendiri dan macam-macam," kata dia.

Baca juga: Guru besar Unand: Kurang aktivitas tingkatkan kasus diabetes melitus

Baca juga: Teh hitam hingga jus tomat bagus untuk penderita diabetes tipe 2

 

Melawan Diabetes dengan Daun Kersen



Dari penelitian gagal

Ide membuat glukometer dengan menggunakan cahaya dan suhu tubuh pun didapat dari hasil penelitian gagal yang terbengkalai dan tak dimanfaatkan sejak 30 tahun lalu. Celestine mengadopsi metode tersebut dan memodifikasi sejumlah panjang gelombang yang digunakan. Dan hasilnya, gadis penyuka minuman boba itu berhasil memfungsikan metode yang gagal sejak 30 tahun lalu untuk alat pengukur gula darah.

Purwarupa glukometer noninvasif ciptaannya dibuat dengan biaya yang relatif murah, yaitu sekitar 30 dolar AS. Biaya tersebut jauh lebih murah dari alat glukometer noninvasif yang sudah ada dan tidak terpakai karena biaya pembuatannya mencapai 5000 dolar AS.

Hasil riset ini kemudian diregistrasikan pada Google Science Fair, yaitu ajang kompetisi remaja untuk memecahkan suatu masalah dengan menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, dan matematika.

Celestine Wenardy menjadi salah satu pemenang dari 20 penerima penghargaan yang diberikan oleh Google perusahaan teknologi raksasa Amerika.

Berdasarkan keterangan di laman resmi Google, Celestine mendapatkan penghargaan Google Science Fair karena alat ciptaannya menerapkan metode invasif tanpa perlu mengambil sampel darah dan alat yang dibuat dengan biaya di bawah 100 dolar AS.

Ke-20 pemenang Google Science Fair dari seluruh dunia diundang berkunjung ke markas besar Google di Silicon Valley California AS. Celestine juga mendapatkan beasiswa sebesar 15 ribu dollar AS dari perusahaan antariksa Virgin Galactic.

Namun, penelitian glukometer Celestine tidak akan berhenti sampai pada raihan penghargaan internasional. Gadis yang sangat mencintai penelitian itu ingin terus mengembangkan risetnya untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru.

Ke depan, Celestine sangat berminat untuk melakukan penelitian lain di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, teknik dan matematika. Karena, menurut dia, masa depan dunia berada pada pengembangan melalui pendekatan interdisiplin tersebut.

"Yang pasti saya nggak akan berhenti sampai di sini," tutur gadis SMA itu bersemangat.*

Baca juga: Penderita diabetes terus meningkat

Baca juga: Alasan hipertensi dan diabetes bisa turunkan fungsi otak

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019