Pakar epidomologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Muhammad Attoillah Isfandiari, dr M Kes menyebutkan upaya preventif untuk menekan penyebaran penyakit pnemonia atau radang paru-paru pada balita di Jatim, salah satunya adalah dengan imunisasi.Salah satu cara yang bisa dilakukan dengan imunisasi. Dengan upaya preventif, biaya yang dikeluarkan seseorang jauh lebih murah. Kalau serangan pneumonia itu terjadi biaya pengobatan yang dikeluarkan bisa sampai puluhan juta
"Salah satu cara yang bisa dilakukan semua pihak adalah dengan imunisasi, dan dengan adanya upaya preventif, biaya yang dikeluarkan seseorang jauh lebih murah. Kalau serangan pneumonia itu terjadi biaya pengobatan yang dikeluarkan bisa sampai puluhan juta," katanya di Surabaya, Rabu.
Attoillah dalam acara Diskusi Media "Menebar Aksi Melawan Pneumonia" di Surabaya mengatakan dukungan lainnya juga tentu harus dilakukan, seperti kebiasaan hidup sehat, dan polusi yang terjadi di sebuah daerah juga sangat berpengaruh.
Ia mengatakan, serangan pneumonia masih menjadi ancaman di Jawa Timur, dan sering menyerang balita serta menempati peringkat kedua penyakit yang mematikan setelah diare.
Kepala Dinas Kesehatan Jatim dr Kohar Hari Santoso mengatakan serangan pneumonia paling banyak dialami balita dengan rentang usia dibawah lima tahun.
"Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam memahami upaya preventif harus bisa ditingkatkan," katanya.
Sepanjang 2018, dia mencatat, pneumonia yang terjadi di Jatim mencapai 92.913 kasus untuk penderita di bawah usia lima tahun. Sementara penderita di atas lima tahun ada 32.910 kasus.
Data di Dinas Kesehatan Jawa Timur sepanjang tahun 2018 menyebutkan penemuan penderita pneumonia tertinggi pada bulan Maret, sebanyak 9.116 orang. Disusul bulan Februari sebanyak 8.392 orang, dan bulan Januari sebanyak 8.195 orang pasien.
Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, pemerintah sebaiknya lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk pencegahan penyakit menular semacam pneumonia ini.
"Jika dibandingkan dengan ketika sudah sakit dan hatus diobati, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akan jauh lebih besar. Maka dari itu tindakan pencegahan ini akan sangat tepat," katanya.
Sayangnya, kata dia, saat ini alokasi anggaran untuk upaya preventif masih kalah porsinya dibandingkan upaya pengobatan. Baik itu dilakukan dengan membeli obat langsung oleh pasien menggunakan asuransi swasta, maupun yang dijamin oleh pemerintah melalui program BPJS.
Hal senada juga disampaikan Dr dr Dominicus Husada SpAK, yang merupakan Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur yang menyoroti masih minimnya dukungan pemerintah dalam upaya pencegahan penyakit menular ini.
"Kalah dibanding dengan membayar BPJS untuk mengobati yang sudah sakit. Karena pencegahan itu memang hasilnya tidak terlihat. Padahal untuk investasi di masa depan, nilai anak-anak yang kebal dari serangan penyakit menular ini jauh lebih menguntungkan dibanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk BPJS," katanya.
Namun demikian, pemerintah kini juga tengah berupaya menambah satu jenis imunisasi untuk penyakit menular di Indonesia.
"Saat ini belum diputuskan, apakah memasukkan imunisasi untuk diare atau pneumonia. Keduanya adalah penyebab kematian tertinggi anak di Indonesia. Ini masih alot dan tarik ulur," katanya.
Baca juga: Kemkes: bayi tidak dapatkan ASI berisiko pneumonia
Baca juga: Kemenkes: 800.000 anak Indonesia terkena pneumonia
Baca juga: Peneliti: vaping picu radang paru-paru
Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019