Kasubdit Penyiapan Program Aneka Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Tony Susandy saat dikonfirmasi di Surabaya, Kamis (29/8), menyebutkan potensi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia berada di angka 207,8 gigawatt peak (GWp)
"Namun, penggunaannya masih 0,092 GWp atau sekitar 0,02 persen," katanya pada diskusi Ruang Ide Mantap Beratap Energi Baru di Surabaya.
Menurut dia, berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, yang termasuk kategori energi terbarukan adalah panas bumi, air, bioenergi, surya, angin, serta arus dan gelombang laut.
"Dari semua jenis energi tersebut, total potensi listrik yang bisa dihasilkan mencapai 442 GW. Akan tetapi, realisasi pemanfaatannya baru 2,1 persen dari total yang ada," ujarnya.
Baca juga: Deputi BUMN ingatkan PLN tinggalkan energi fosil, maksimalkan EBT
Pihaknya juga menyambut baik sektor properti yang menggunakan tenaga surya karena bisa membantu dalam menyediakan kebutuhan listrik rumah tangga.
"Saat ini, penggunaan EBT masih belum banyak karena kondisi energi dalam negeri sekarang masih didominasi fosil yang kalau digunakan terus bisa habis," katanya.
Menurut dia, potensi energi terbarukan yang berlimpah ini belum termanfaatkan secara optimal karena wawasan masyarakat terkait dengan lingkungan masih minim.
Selama 2018, kata Tony Susandy, energi minyak masih berada di kisaran 38 persen, energi batu bara sebanyak 32 persen, gas 19 persen, dan EBT sebanyak 8 persen.
Meskipun demikian, lanjut dia, pada tahun 2025 ada perubahan skema komposisi untuk batu bara bisa turun menjadi 30 persen, minyak 25 persen, gas 22 persen, dan EBT naik jadi 23 persen.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada tahun 2025 ditargetkan kapasitas terpasang PLTS di Indonesia bisa mencapai 6.500 megawatt.
Baca juga: Pemerintah targetkan 7.200 MW dari panas bumi pada 2025
Di sisi lain, jika melihat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), target kapasitas terpasang PLTS hanya sekitar 1008,4 megawatt.
"Artinya, terdapat gap lebih dari 5.000 megawatt antara target pengembangan PLTS pada RUEN dan RUPTL. Demi bisa bisa mencapai angka 6.500 megawatt, pemerintah menyiapkan sejumlah upaya, antara lain, menyediakan lampu surya gratis untuk rumah yang belum terlistriki," katanya.
Pada kesempatan yang sama, praktisi industri atap Anthony Utomo mengatakan bahwa prospek bisnis solar atap di Indonesia cukup cerah seiring dengan rencana pemerintah menggenjot pemanfaatan EBT.
"Pada tahun depan, kami menargetkan kontribusi solar atap terhadap revenue kami bisa mencapai 30 persen," katanya.
Baca juga: Tekan impor BBM, pemerintah maksimalkan energi baru terbarukan
Ia mengakui bahwa saat ini harga solar atap untuk setiap 1 watt peak (Wp) berkisar Rp15 ribu. Jadi, jika sebuah rumah atau ruko membutuhkan 1.000 Wp, berarti membutuhkan dana Rp 15 juta untuk membangun solar atap.
"Kami mempermudah konsumen menggunakan solar atap dengan membuat terobosan baru, yaitu menjalankan persewaan PLTS atap," katanya.
Pewarta: Indra Setiawan
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019