Pemerintah menghentikan pemberian insentif ekspor (pelarangan ekspor) hasil tambang mineral jenis nikel terhitung mulai 1 Januari 2020.Keputusan tersebut akan tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM, namun sekarang masih diproses di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga nomor Permen belum tercantum.
"Saya menyampaikan keputusan dari Menteri ESDM mengenai penghentian pemberian insentif ekspor nikel mulai 2020," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot di Kementerian ESDM Jakarta, Senin.
Bambang menjelaskan keputusan tentang larangan ekspor nikel tersebut akan tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM, namun sekarang masih diproses di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga nomor Permen belum tercantum.
Bambang menjelaskan peraturan menteri tentang penghentian pemberian insentif ekspor nikel tersebut berasumsi bahwa sudah banyak smelter nikel yang terbangun di Indonesia.
Baca juga: CIRUS sayangkan rencana percepat larangan ekspor bijih nikel
Sebanyak 11 smelter besar terbangun dan 25 smelter masih dalam tahap pembangunan, sehingga Indonesia akan memiliki total sebanyak 36 smelter.
Asumsi kedua, larangan ekspor nikel tersebut bertujuan untuk melihat cadangan mineral nikel ke depan. Saat ini cadangan nikel dinilai hanya bertahan untuk 8 tahun ke depan untuk cadangan terbukti.
"Cadangan kita ini kan yang proven atau 'mineable' hampir 700 juta ton sedangkan cadangan terkira memang 2,8 juta tapi harus dilakukan eksplorasi lebih lagi," kata Bambang.
Selain itu, asumsi ketiga adalah ada perkembangan teknologi yang dianggap sudah mampu untuk memproduksi pemurnian nikel dalam skala kualitas rendah.
Untuk nikel kualitas rendah menurut Bambang, masih bisa untuk diolah menjadi cobalt dan lithium untuk pembuatan baterai guna mendukung transportasi listrik.
Baca juga: Luhut: larangan ekspor bijih nikel dipercepat untuk tarik investasi
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019