The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat kebijakan ini akan mendorong produsen tembakau melakukan diskon harga rokok sehingga pada akhirnya membuat penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan menjadi berkurang.
"Potensi PPh badan yang bakal hilang sebagai akibat kebijakan tersebut bisa mencapai triliunan rupiah," kata Tauhid saat dihubungi, di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Indef: Kebijakan diskon rokok sebabkan penerimaan negara tak optimal
Rinciannya, pajak penghasilan dari rokok yang dijual 85 persen di bawah harga jual eceran (HJE) sebesar Rp467 miliar dan pajak penghasilan dari kebijakan harga transaksi pasar (HTP) antara 85-100 persen terhadap harga jual eceran (HJE) sebesar Rp1,26 triliun.
Menurut Tauhid, berdasarkan kebijakan itu, pabrikan rokok dibolehkan mematok HTP atau harga jual di tingkat konsumen sebesar 85 persen dari HJE atau harga banderol yang tertulis dalam pita cukai.
Produsen, menurutnya, juga dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
"Kebijakan diskon ini tentunya membuat omset pabrikan berkurang sehingga pada akhirnya membuat PPh badan yang disetorkan ke negara juga tidak optimal," kata Tauhid.
Baca juga: Pemerintah diminta hapus kebijakan diskon rokok
“Kami melihat 289 merek melakukan jor-joran diskon. Contoh di Sumatera, Batam misalnya, bahkan hampir merata di Indonesia,” tutur Tauhid.
INDEF mendesak pemerintah segera mengkaji kembali kebijakan diskon rokok karena selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, juga menyebabkan penerimaan negara dari PPh badan menjadi tidak optimal.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019