Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam pernyataan di Jakarta, Rabu, penetapan keadaan kahar ini dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-596/PJ/2019 yang berlaku sejak Senin (2/9).
Hestu mengatakan melalui penetapan keadaan kahar ini maka Wajib Pajak dan pengusaha kena pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, atau memiliki usaha di kedua provinsi tersebut diberikan pengecualian dari pengenaan sanksi administrasi.
Baca juga: DPR: Pendekatan ekonomi dan keamanan tuntaskan masalah Papua
Dengan demikian, Wajib Pajak terbebas dari sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT Masa atau SPT Tahunan, pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang, dan pembayaran utang pajak yang jatuh tempo pada 21 Agustus 2019 sampai dengan 29 September 2019.
"Pelaporan dan pembayaran dilaksanakan paling lambat 30 September 2019," kata Hestu.
Baca juga: Kegiatan ekonomi Manokwari kembali bergeliat
Selain itu, pengajuan permohonan upaya hukum berupa keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang kedua juga diberikan perpanjangan batas waktu sampai 30 September 2019.
Ia menambahkan para Pengusaha Kena Pajak yang memiliki Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang berlaku sampai dengan Masa Pajak Oktober 2019 atau memiliki Sertifikat Elektronik yang jangka waktunya berakhir selama periode keadaan kahar juga diperkenankan mengajukan pemberitahuan tertulis untuk perpanjangan jangka waktu pemusatan atau mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik yang baru paling lambat tanggal 30 September 2019.
"Selama periode keadaan kahar, pengusaha kena pajak juga diperkenankan membuat faktur pajak berbentuk kertas," ujar Hestu.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019