"Saya kira ini harusnya bisa untuk perbaikan dan mungkin justru membuat institusi KPK semakin kuat, dalam hal governance-nya," kata Fadli di Gedung MPR-DPR RI Jakarta, Jumat.
Baca juga: Presiden Jokowi harap DPR dapat perkuat KPK
Diakui politikus Partai Gerindra itu, revisi UU KPK pernah mencuat beberapa tahun lalu, tetapi kemudian ditunda pada 2016.
Menurut dia, penundaan revisi UU KPK waktu itu dilakukan karena ada penentangan dan penolakan dari masyarakat karena belum ada urgensinya.
Baca juga: KPK: Beberapa poin revisi UU KPK tidak sesuai Piagam PBB
"Saya kira waktu itu di masyarakat ada semacam penentangan, penolakan, kalau tidak salah, sehingga tidak kondusif dibahas, dan memang dianggap ketika itu belum ada satu urgensinya," katanya.
Namun, sekarang ini seluruh fraksi di DPR sudah menyetujui revisi itu sehingga Fadli meminta untuk menunggu perkembangan pembahasan revisi UU tersebut.
Ditanya apakah revisi UU KPK itu tidak terkesan terburu-buru, ia mengatakan, belum melihat secara rinci poin-poin yang akan direvisi.
Baca juga: Laode M Syarif minta revisi UU KPK transparan
"Ya, nanti saya sendiri belum lihat poin-poinnya seperti apa. Tetapi, ini sudah berkali-kali dibahas di DPR, termasuk bersama pemerintah," katanya.
Bahkan, kata dia, ketika itu pernah dibentuk panitia khusus (pansus) meski tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah, dan Gerindra pun tidak ikut dalam pansus itu.
"Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya. Karena ini baru sebuah proses pembahasan," katanya.
Fadli menambahkan poin-poin yang akan direvisi dalam UU KPK juga masuk akal, misalnya soal surat perintah penghentian penyidikan (SP3), dewan pengawas, dan aturan main dalam penyadapan.
Mengenai kekhawatiran KPK bahwa revisi UU justru akan melemahkan institusi itu, Fadli mengatakan akan menjadi masukan dalam pembahasan.
"Justru itu nanti bagian yang bisa dibahas dalam pembahasan, sebagai masukan-masukan dari masyarakat," katanya.
Sebagaimana diwartakan, rapat paripurna DPR menyetujui usulan revisi dua UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan RUU Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan revisi UU itu menjadi salah satu penyebab KPK berada di ujung tanduk.
Baca juga: Abraham Samad soroti enam poin terkait revisi UU KPK
Agus menyatakan terdapat sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK, yaitu independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
"Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas," ucap Agus.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019