"KPAI dan Yayasan Lentera Anak Indonesia bukan meminta menghentikan audisinya. Mereka meminta audisi tersebut tidak melibatkan logo merek rokok," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, penggunaan logo Djarum tersebut melanggar regulasi yang ada yakni PP No. 109/2012.
Baca juga: PB Djarum pamit, Yoppy : ini sudah final
"Apa pun alasannya logo tersebut adalah citra dari produk tersebut adalah rokok, meski berkedok yayasan," kata Tulus Abadi.
Dia mengatakan dalam praktik olahraga di level internasional sekali pun termasuk di dalam bulu tangkis, memang dilarang untuk melibatkan industri rokok dalam bentuk apa pun.
YLKI juga mengkritik keras sikap Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang justru mendukung audisi tersebut dengan sponsor PB Djarum.
Baca juga: KONI nilai sorotan KPAI soal audisi PB Djarum kritik membangun
Dia menegaskan, audisi untuk mencari bibit unggul di bidang bulu tangkis adalah hal yang positif, namun melibatkan industri rokok dan anak sebagai objeknya adalah tindakan yang tidak pantas dan melanggar regulasi.
Berdasarkan laporan Southeast Asia Tobacco Control Atlas, Wilayah Asia Tenggara menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN, yaitu 65,19 juta orang, angka tersebut setara dengan 34 persen dari total penduduk Indonesia pada 2016.
Riset Kesehatan Dasar pada 2013 menyatakan sebanyak 12 juta perokok pasif adalah anak berusia 0-4 tahun.
Baca juga: Yoppi: nama PB Djarum tidak bisa dihilangkan saat audisi bulu tangkis
Selain itu data yang diterbitkan Tobacco Control dan Support Center - IAKMI pada 2014 menunjukkan adanya kenaikan perokok di usia dini. Tren kenaikan signifikan terlihat pada mereka yang memulai merokok pada usia anak dengan rentang usia 5-14 tahun.
Jika pada 1995 ada sebanyak 9,6 persen penduduk Indonesia memulai rokok ada usia 5-14 tahun, pada 2001 jumlah itu naik menjadi 9,9 persen dan terus mengalami pelonjakan hingga 19,2 persen pada 2010.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019