"Kita harus memperhatikan pengadaan tanah untuk pembangunan ibu kota itu akan memberi dampak, selain keadilan sosial, deforestasi hutan di Kalimantan Timur, kemudian aspek kebudayaannya karena di sana banyak tanah adat dan masyarakat adat," ungkap Dewi ketika ditemui dalam diskusi publik di Gedung Ombudsman RI di Jakarta Selatan pada Senin.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Hukum Indonesia bekerja sama dengan Ombudsman itu, Dewi menekankan bahwa pemindahan ibu kota harus juga mempertimbangkan aspek agraria di daerah tersebut.
Baca juga: Soal pemindahan ibu kota, pengamat berikan dua catatan
Baca juga: Pengamat: Pemerintah belum fokus soal sosial Ibu Kota baru
Masalah agraria itu seperti penguasaan dan penggunaan tanah saat ini serta struktur penguasaan tanah.
Hal itu, ujarnya, harus dilakukan agar jika memang rencana pemindahan ibu kota dilaksanakan maka tidak akan menjadikan ketimpangan agraria semakin tajam.
Pengadaan tanah untuk calon ibu kota baru diharapkan dilakukan dengan tepat agar tidak berdampak secara sosial, ekologis, dan kebudayaan.
Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan bahwa 90 persen lahan di ibu kota baru di Kaltim akan dimiliki oleh negara.
Pemerintah sendiri menyediakan 180.000 hektare untuk pengembangan ibu kota baru dan mengklaim tidak akan menggunakan tanah adat.
Kepala Bagian Perundang-undangan, Biro Hukum dan Humas Kementerian ATR/BPN Yagus Suyadi mengatakan bahwa pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan untuk menjadi salah satu dasar pengembangan lahan calon ibu kota baru.
"Karena itu harus dipastikan bahwa semua bidang tanah itu statusnya adalah tanah negara, atau tanah yang langsung dikuasai negara," ujar Yagus, yang menghadiri diskusi tersebut mewakili BPN.
Baca juga: Jangan lupakan aspek sosial-budaya saat pindah ibu kota
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019