Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi )KPK) yang diusulkan oleh DPR telah menyalahi undang-undang.Kedua, ini karena melanggar prosedur saya khawatir kalau presiden tidak mengeluarkan pernyataan itu nanti DPR enak saja menyelipkan undang-undang seperti ini untuk kepentingan politik dia," tambahnya.
"Manuver DPR ini tidak sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ujar Bivitri saat dihubungi, Selasa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR maupun presiden serta RUU yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan program legislasi nasional (Prolegnas).
Baca juga: Akademisi Unair aksi "bendera hitam" tolak revisi UU KPK
Namun pada kenyataannya, kata Bivitri, usulan revisi UU KPK tidak tercantum dalam daftar Prolegnas RUU prioritas pada tahun ini.
"Maka wajar saja KPK menolak, karena RUU ini muncul tiba-tiba," ujar dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Oleh karena itu, Bivitri mendesak agar Presiden Joko Widodo segera membatalkan pembahasan mengenai usulan revisi UU KPK dengan tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) serta menyampaikan pernyataan terbuka terkait dukungan penguatan terhadap lembaga anti rasuah itu.
Baca juga: Abraham Samad berharap Presiden hentikan upaya DPR revisi UU KPK
Baca juga: Guru Besar LIPI: Revisi UU KPK pembohongan publik
"Penting bagi presiden untuk mengatakan dia tidak mau membahas dengan dua alasan, yang pertama alasan bahwa dia mendukung KPK yang sekarang ini kuat dan tidak mau melemahkan KPK," ucap Bivitri.
"Kedua, ini karena melanggar prosedur saya khawatir kalau presiden tidak mengeluarkan pernyataan itu nanti DPR enak saja menyelipkan undang-undang seperti ini untuk kepentingan politik dia," tambahnya.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019