Presiden Joko Widodo sudah menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi
"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR ini tadi. Intinya bahwa nanti bapak presiden jelaskan detail seperti apa," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di gedung Sekretariat Negara Jakarta, Rabu.
Baca juga: Yusril harap Presiden Jokowi beri keputusan terbaik soal revisi UU KPK
Baca juga: Agus Rahardjo berharap presiden tidak menyetujui pembahasan revisi
Sebelumnya Presiden Joko Widodo baru mengatakan sudah menerima Daftar Isian Masalah (DIM) revisi UU KPK dan akan mempelajarinya agar tidak mengganggu independensi KPK.
"Tapi bahwa DIM yang dikirim pemerintah banyak merevisi 'draft' yang dikirim DPR. Pemerintah sekali lagi, Presiden katakan KPK adalah lembaga negara yang independen dalam pemberantasan korupsi, punya kelebihan dibandingkan lembaga lainnya," tambah Pratikno.
Namun Pratikno tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai isi draft versi pemerintah tersebut.
"Sepenuhnya Presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," ungkap Pratikno.
Setelah Presiden mengirimkan surpres tersebut maka revisi UU KPK selanjutnya akan dibawa ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi dua UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3), serta usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pimpinan KPK sebelumnya sudah menyatakan menolak revisi UU KPK tersebut.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.
Setidaknya ada sembilan persoalan dalam konsep RUU KPK tersebut adalah (1) Independensi KPK terancam, (2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi, (3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, (4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, (5) Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya (6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, (7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, (8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, (9) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Baca juga: UNS tolak segala bentuk pelemahan KPK
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Tengah tolak keras revisi UU KPK
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019