"Manakala hati, menggeliat mengusik renungan. Mengulang kenangan, saat cinta menemui cinta. Suara semalaman siang seakan berlagu....hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong
Dapat aku dengar, rindumu memanggil namaku. Saat aku tak lagi di sisimu. Kutunggu kau di keabadian....."
Penggalan lirik lagu Cinta Sejati yang dinyanyikan Bunga Citra Lestari menjadi musik tema atau soundtrack film Habibie dan Ainun.
Film yang dirilis pada 20 Desember 2012 diangkat dari memoar yang ditulis Presiden ketiga Republik Indonesia BJ Habibie mengenai kisah hidupnya bersama mendiang sang istri Hasri Ainun Besari dalam buku dengan judul yang sama.
Film yang dibintangi oleh Reza Rahardian selaku pemeran Habibie dan Bunga Citra Lestari yang juga penyanyi lagu tema tersebut sebagai Ainun itu menjadi kenangan abadi perjalanan cinta pasangan yang menikah pada 12 Mei 1962 itu.
Pemilik nama lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie yang di masa mudanya kerap disapa Rudy Habibie adalah seorang genius ahli pesawat terbang yang punya mimpi besar, berbakti kepada bangsa Indonesia dengan membuat pesawat terbang untuk menyatukan Indonesia. Sedangkan Ainun adalah seorang dokter muda cerdas yang dengan jalur karier terbuka lebar untuknya.
Pada tahun 1962, dua kawan SMP ini bertemu lagi di Bandung. Habibie jatuh cinta seketika pada Ainun yang baginya semanis gula. Akhirnya mereka menikah pada 12 Mei 1962 dan terbang ke Jerman untuk mewujudkan cita-citanya.
Baca juga: Prestasi BJ Habibie - JK kenang Habibie sosok negarawan panutan
"Jangan tinggalkan saya Ainun..," ucap Habibie sebelum Ainun menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit di Munchen, Jerman seperti tergambar dalam film Habibie dan Ainun.
Ucapan Habibie begitu menyentuh, kesedihan ditinggalkan separuh jiwanya begitu menyayat hati. Memang sulit melepaskan orang yang dicintai untuk selama-lamanya. Ainun meninggal pada 22 Mei 2010 di Munchen, Jerman.
Habibie saat itu bahkan berpesan agar ia dimakamkan di samping Ainun jika waktunya kelak ia dipanggil Yang Maha Kuasa.
Setelah ditinggal Ainun, Habibie membuat puisi yang menyuarakan isi hatinya yang ditinggalkan sang cinta sejati.
"Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau di sini.
Mereka mengira akulah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan calon bidadari surgaku
Bacharuddin Jusuf Habibie"
Baca juga: BJ Habibie wafat - Warga mulai padati TMP Kalibata
Menyusul Cinta Sejati
Sembilan tahun kemudian, keinginan Habibie untuk dimakamkan di samping si Gula Jawa, panggilannya untuk Ainun akhirnya terwujud.
Habibie meninggal setelah menjalani perawatan selama 11 hari sejak 1 September 2019 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta.
Habibie akhirnya menyusul Ainun, sang cinta sejatinya pada Rabu, 11 September 2019 pukul 18.05 WIB karena usia yang sudah tua, 83 tahun dan gagal jantung.
Kepergian pria kelahiran Parepare Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu menyentakkan Bangsa Indonesia. Ucapan duka cita terus mengalir ke rumah duka. Pemerintah menetapkan tiga hari sebagai hari berkabung nasional dan memberikan penghormatan dengan mengibarkan bendera setengah tiang.
Teringat kembali jasa-jasanya kepada nusa dan bangsa, Habibie telah membawa angin reformasi setelah runtuhnya Orde Baru, ia juga disebut sebagai Bapak Teknologi dan Bapak Dirgantara karena membidani lahirnya industri pesawat terbang Tanah Air.
Ia memimpin proyek pesawat terbang pertama buatan Indonesia yang dinamai N250 Gatot Kaca. Kejeniusannya di bidang kedirgantaraan bukan hanya diakui Indonesia tapi juga dunia. Habibie telah mematenkan sejumlah temuannya di bidang kedirgantaraan.
Banyak lagi jasanya selama ia menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sampai jabatan Wakil Presiden dan Presiden ketiga RI pada 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.
Habibie juga disebut sebagai sosok negarawan dan teknokrat. Di masa pemerintahannya, ia bahkan mampu menguatkan nilai tukar rupiah dari Rp17.000 menjadi Rp6.500 per dolar Amerika Serikat.
Tapi kini Habibie telah kembali bertemu dengan Ainun, bersatu lagi dengan cinta sejati di keabadian.
"Aku tak pernah pergi. Selalu ada di hatimu. Kau tak pernah jauh. Selalu ada di dalam hatiku. Sukmaku berteriak. Menegaskan kucinta padamu....
"Terima kasih pada Mahacinta. Menyatukan kita. Saat aku tak lagi di sisimu. Kutunggu kau di keabadian.......
Sama seperti perjalanan, setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi selesai kala terbangun. Begitu pula dengan Habibie. Tetapi kisah cintanya dengan Ainun, tetap abadi.
Baca juga: Mengenang Habibie, sang pemimpin sejati
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019