"Kemudian yang berikutnya gerakan antikorupsi berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Kita masih berharap mudah-mudahan concern kita semua didengar oleh pengambil keputusan baik di DPR maupun di pemerintahan bahwa gerakan antikorupsi itu butuh penguatan-penguatan, bukan pelemahan," tambah Agus Rahardjo di Jakarta, Kamis.
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.
"Oleh karena itu mari kita tidak henti-hentinya untuk memikirkan hari itu. Kita sudah melihat rencana UU-nya itu pun dilihat di berita-berita karena secara resmi kami di KPK tidak dilibatkan, berbeda dengan sebelumnya kita dilibatkan melalui undangan dalam rapat-rapat di DPR, tetapi hari ini kita terkejut hal itu begitu cepat," ungkap Agus.
Agus berharap agar seharusnya revisi yang dilakukan lebih dulu adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lalu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Baru setelah itu dan kita pada waktu bicara RUU KUHP sudah bicara dengan Presiden di Istana Bogor, disetujui UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di luar, setelah itu kita mestinya memperbaiki UU Tipikornya karena masih ada kesenjangan dengan UNCAC (United Nations Convention against Corruption) belum ada korupsi di sektor swasta, belum menyentuh perdagangan pengaruh, memperkaya diri dengan cara tidak sah, lalu asset recovery. Ini harusnya disempurnakan," tambah Agus.
Menurut Agus, setelah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru membahas revisi UU KPK.
"Tapi secara mengejutkan langsung melompat ke UU KPK, kita terus berjuang untuk supaya gerakan antikourpsi di negara kita makin kuat," ucap Agus.
Pimpinan KPK sebelumnya sudah menyatakan menolak revisi UU KPK tersebut.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.
Sejumlah keberatan KPK terhadap RUU KPK tersebut adalah (1) pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai tetap akan berubah dengan merujuk kepada UU Aparatur Sipil Negara (ASN), (2) KPK memiliki Dewan Pengawas dan menghapus penasihat karena dalam draf unsur KPK adalah pimpinan, Dewan Pengawas dan pegawai (3) KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.
Selanjutnya (4) penyelidik hanya boleh dari kepolisian, (5) tidak ada penyidik independen, (6) penuntutan KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, (7) Hilangnya kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik, (8) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Kemudian (9) KPK hanya menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, (10) Definisi penyelenggara negara dipersempit, (11) KPK tidak berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, (12) KPK hanya berwenang mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan, (13) Kewenangan khusus penegakan hukum yang dimiliki KPK hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, (14) Pimpinan KPK bukan lagi penyidik, penuntut umum dan penanggung jawab tertinggi KPK.
Masih ada (15) KPK harus mengikuti prosedur khusus jika memeriksa tersangka, (16) hasil penggeledahan dan penyitaan bisa dilelang tanpa mekanisme hukum yang jelas, (17) ketentuan peralihan tidak memberikan kepastian hukum.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019