"Kami terus mendorong arah perusahaan, pihak swasta karena mereka yang menyuplai plastik sekali pakai," katanya melalui sambungan telepon di Jakarta, Jumat.
Atha mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya telah membuat peraturan melalui Undang-undang pengelolaan sampah. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa sebenarnya perusahaan harus bertanggung jawab atas produk yang mereka hasilkan.
Namun, pada kenyataannya ia melihat peraturan tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan sebagaimana mestinya.
Baca juga: Greenpeace dorong produk alternatif kurangi sampah plastik
Ia juga melihat produksi plastik sekali pakai malah meningkat terus setiap tahun. Sementara kapasitas daur ulang plastik juga peningkatannya tidak signifikan.
"Implementasinya hampir tidak berjalan. Hampir sedikit sekali yang melaksanakannya. Itupun sangat belum ideal," katanya.
Karena itu, Greenpeace, kata dia, meminta produsen-produsen plastik tersebut untuk mulai membatasi produksi plastik sekali pakai.
Dia juga mendorong peningkatan sistem pengelolaan sampah sehingga sampah-sampah plastik yang sudah ada bisa didaur ulang.
"Jika bicara masalah plastik, tidak hanya masyarakat saja yang dibebankan, tetapi juga produsen plastik. Caranya dengan mulai membatasi produksi plastik sekali pakai dan sistem daur ulangnya," tuturnya.
Selain itu, Greenpeace juga mendorong extended producer responsibility (EPR), mendesak perusahaan agar lebih bertanggung jawab dengan menangani limbah dari proses produksi dan penanganan saat produk tersebut dibuang.
Baca juga: Menteri Kelautan imbau perusahaan plastik beralih produksi daur ulang
Baca juga: Kemenperin perlu dorong industri produksi plastik ramah lingkungan
Pewarta: Katriana
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019