Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merasa Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota melemahkan peran dan fungsi lembaga pengawas pemilu tersebut.Di tahun 2020 Bawaslu akan melaksanakan tugas mengawasi pilkada tingkat provinsi, kabupaten dan kota di 270 titik. Namun, kita akan mengacu pada dua regulasi atau sandaran hukum yang berbeda, kata Dewi
"UU Pilkada melemahkan peran dan kelembagaan Bawaslu beserta jajarannya," kata Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, di Palu, Minggu.
Ratna Dewi Pettalolo menjadi salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) problematika hukum terkait UU Nomor 10 tahun 2016 dalam rangka pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2020.
Baca juga: Bawaslu RI dorong revisi terhadap UU Pilkada
Ada beberapa kritik yang disampaikan oleh Bawaslu sehingga UU Nomor 10 tahun 2016 perlu direvisi atau melahirkan peraturan pengganti undang-undang, karena terdapat beberapa problem terkait kelembagaan Bawaslu dan jajarannya dalam UU Nomor 10 tahun 2016 dan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Di tahun 2020 Bawaslu akan melaksanakan tugas mengawasi pilkada tingkat provinsi, kabupaten dan kota di 270 titik. Namun, kita akan mengacu pada dua regulasi atau sandaran hukum yang berbeda," kata Dewi.
Bawaslu menguraikan beberapa perbedaan mendasar konsep penanganan dugaan pelanggaran oleh pengawas. Misalnya dalam UU Nomor 7 tahun 2017 penanganan dugaan pelanggaran administrasi berdurasi waktu 14 hari kerja. Lalu, pelanggaran diselesaikan lewat jalur adjusdikasi, maka putusan yang dilahirkan bersifat final dan mengikat.
Baca juga: UU Pilkada dinilai perlu dikaji kembali untuk eliminasi kasus korupsi
Sementara dalam UU Nomor 10 tahun 2016, durasi waktu penanganan pelanggaran administrasi hanya lima hari. Lalu, pelanggaran administrasi dan potensi pidana bersifat non-adjusdikasi. Karena itu pengawas hanya bisa mengeluarkan rekomendasi dari hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran.
Masalah lain, yakni dalam UU Nomor 10 tahun 2016 pengawas di tingkat kabupaten dan kota disebut panwas, bukan bawaslu seperti dalam UU Pemilu.
Kemudian, larangan penggunaan fasilitas pemerintah/pemda dalam pemilihan gubernur tidak diikuti dengan sanksi pidana. Selanjutnya, kriteria atau tolak ukur pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) belum tegas dalam UU Nomor 10 tahun 2016.
Terkait hal itu, Ketua Bawaslu Sulteng Ruslan Husen mengaku eksistensi dan peran Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah kembali mengalami pelemahan.
Baca juga: KPU: Larangan koruptor ikuti pilkada semestinya diatur undang-undang
"Pada UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada masih memposisikan kelembagaan pengawas pemilihan pada level kabupaten/kota sebatas panitia yang bersifat adhoc, padahal dalam UU Pemilu kelembagaan pengawas kabupaten/kota telah menjadi bawaslu yang lebih permanen," kata Ruslan.
Karena itu, kata dia, dari sisi keanggotaan dalam UU Pilkada disebutkan jumlah anggota Bawaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota dan Panwas sebanyak tiga orang.
Sementara menurut UU Pemilu, jumlah keanggotaan Bawaslu provinsi sebanyak lima sampai dengan tujuh orang, dan Bawaslu kabupaten/kota berjumlah tiga sampai lima orang.
"Isu-isu hukum tersebut, merupakan salah satu alasan kemunduran eksistensi Bawaslu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pada pemilihan kepala daerah," ujarnya.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019