Risiko kematian yang ditimbulkan rokok elektrik beraroma atau "vape" belum tentu lebih tinggi ketimbang rokok biasa, menurut pegiat kesehatan masyarakat Dr Ajeng Tias Endarti, SKM, M Commonhealth.Tidak ada bedanya, rokok dan 'vape' karena menimbulkan adiksi akibat kandungan nikotin
Ajeng menyebut dari 34 penelitian, ada yang menunjukkan "vape" memberi dampak risiko kematian lebih tinggi dari rokok biasa dan ada pula yang sebaliknya. Namun hal tersebut masih belum dapat diambil kesimpulan karena adanya konflik kepentingan dari sumber pendanaan penelitian.
"Terkait angka kematian akibat 'vape,' itu menurut saya akan sangat tergantung dari penyakit yang menyertai kasus meninggalnya pasien. 'Vape' tidak hanya menjadi salah satu faktor kematian, namun faktor itu berkolaborasi dengan penyakit lain," ujar pegiat kesehatan di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) ini di Jakarta, Minggu (15/9) malam.
Baca juga: Kemarin, meninggal karena "vape" hingga pengungsi kembali ke trotoar
Ajeng menyatakan, masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan 'vape' sebagai salah satu faktor risiko penyebab kematian utama yang lebih besar ketimbang rokok, karena penelitiannya baru berlangsung dalam rentang waktu yang pendek.
Ia menjabarkan, hampir semua studi mulai 1950-an menyepakati rokok menjadi faktor risiko penyakit ibu dan anak, penyakit menular. Namun studi terhadap "vape" baru dimulai sekitar 2014 sehingga kesimpulan studi "vape" belum sekuat rokok.
Di beberapa lembaga swadaya masyarakat kesehatan Indonesia, Ajeng mengatakan mereka telah menolak "free smoke tobacco campaign" atau kampanye bebas dari asap tembakau yang dibentuk perusahaan rokok Phillip Morris. Kampanye itu seolah-olah membuat penghirup uap "vape" lebih sehat ketimbang asap rokok.
Baca juga: Kematian akibat Vape di Amerika hendaknya jadi pelajaran Indonesia
Selain itu, Ajeng menilai "vape" tidak bisa serta merta membebaskan pengonsumsinya dari bahaya yang sama ditimbulkan dari asap rokok.
"Tidak ada bedanya, rokok dan 'vape' karena menimbulkan adiksi akibat kandungan nikotin yang menjadikannya ketagihan. Pada 'vape' pun ada logam-logam pada saat dilakukan pembakaran, menimbulkan reaksi kimia yang menyebabkan kandungan nikel dan timbal menjadi lebih tinggi," ujar dia.
Untuk itu, Ajeng mengharapkan adanya usaha pencegahan preventif dari pemerintah untuk membentuk suatu regulasi yang memberi batasan tentang "vape," yang berlaku sama halnya dengan rokok biasa.
Baca juga: Perlu ada larangan vape sebelum ada korban
Misalnya, regulasi yang dapat membatasi jumlah kafe khusus pengonsumsi "vape," jam operasional atau pengunjungnya, agar tidak menimbulkan dampak buruk berkepanjangan.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019