SKAK Jember demo tolak revisi UU KPK

16 September 2019 15:58 WIB
SKAK Jember demo tolak revisi UU KPK
Seorang aktivis Solidaritas Koalisi Antikorupsi Jember berorasi di samping keranda sebagai simbol matinya KPK di bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, Senin (16/9) (Zumrotun Solichah)

Kematian awal lembaga antirasuah di Indonesia ditandai dengan kehadiran revisi Undang-Undang KPK yang terburu-buru dan dianggap tidak perlu masuk Prolegnas untuk di sahkan menjadi sebuah undang-undang

Puluhan aktivis mahasiswa dan jurnalis dari berbagai elemen yang tergabung dalam Solidaritas Koalisi Anti-Korupsi (SKAK) Jember berdemontrasi menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dinilai semakin melemahkan lembaga antirasuah dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND), Forum Wartawan Lintas Media (FWLM), Teater Gelanggang, UKM Lembaga Ilmiah Fakultas Hukum, Lembaga Pers Mahasiswa Imparsial, dan Future Leader Anti Corruption (FLAC) melakukan longmarch dari jalan kembar Universitas Jember menuju bundaran DPRD Jember, Senin.

"Kematian awal lembaga antirasuah di Indonesia ditandai dengan kehadiran revisi Undang-Undang KPK yang terburu-buru dan dianggap tidak perlu masuk Prolegnas untuk di sahkan menjadi sebuah undang-undang," kata juru bicara SKAK Jember Rizaldi di bundaran DPRD Jember.

Dalam draf revisi UU KPK itu, banyak pasal yang isinya memangkas kewenangan KPK antara lain mengubah status sejumlah pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara; kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan harus disetujui Dewan Pengawas; tidak dibolehkannya KPK memiliki penyelidik dan penyidik dari independen.

"Selain itu, penuntutan yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung; dan pengubahan kewenangan dalam mengelola Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang merupakan poin-poin melemahkan kewenangan KPK," tuturnya.

Menurutnya tidak hanya terdapat kecacatan formil dalam penyusunan RUU KPK ini, namun juga terdapat beberapa poin baru yang jelas-jelas akan melemahkan posisi KPK sebagai lembaga negara yang independen dan sesuai dengan semangat reformasi.

"KPK akan ditarik menjadi bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, sehingga hal itu jelas logika hukum ketatanegaraan yang usang dan tidak sejalan dengan semangat demokrasi," katanya.

Hal senada juga disampaikan koordinator aksi Trisna yang mengatakan KPK sejatinya bukanlah bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif (trias politica), namun KPK adalah lembaga negara independen (auxiliary state's organ) yang bebas dari pengaruh kepentingan dari cabang kekuasaan manapun.

"Selain itu, keberadaan dewan pengawas justru akan semakin memperlemah kinerja KPK karena hanya akan menambah birokrasi untuk melaksanakan tugas-tugas pemberantasan korupsi, salah satu contohnya adalah perizinan penyadapan," ujarnya.

SKAK juga menyayangkan pemberian kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu 1 tahun.

"Hal itu jelas akan memberikan celah ruang intervensi kasus yang ditangani KPK, termasuk modus menghambat kasus secara administratif sehingga melebihi batas waktu 1 tahun," ucapnya.

Untuk itu, lanjut dia, Solidaritas Koalisi Anti Korupsi secara tegas menolak revisi Undang-Undang KPK karena revisi yang tidak prosedural, adanya pasal-pasal yang melemahkan KPK dan kurun waktu yang terburu-buru, sehingga mengajak semua elemen untuk bersatu melawan upaya pelemahan terhadap KPK.

Dalam unjuk rasa tersebut, beberapa aktivis juga membawa keranda sebagai simbol matinya KPK dan menaburkan bunga di keranda tersebut, serta melakukan aksi teatrikal sebagai bentuk keprihatinan.

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019