"Penyebabnya kadang karena seniman ingin cepat laku, ingin cepat memancing tawa, sehingga tidak disadari banyak hal yang semestinya tidak boleh dilakukan malah dilakukan," kata Prof Arya, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, satu cara yang dipilih seniman untuk membuat hiburan yang instan, yang memancing gelak tawa adalah dengan membuat lelucon atau dalam estetika post modern disebut dengan parodi.
"Persoalannya, dalam membuat lelucon itu, malah sesuatu yang sakral, sesuatu yang indah diplesetkan dengan cara-cara tertentu untuk memancing tawa. Seperti tari Pendet ditarikan oleh laki-laki dan kemudian ada adegan pakaian dari penari yang diturunkan. Ini namanya cara membuat lelucon yang salah konteks," ucapnya.
Padahal dalam menampilkan lelucon harusnya masih tetap ada unsur filsafat yang ingin disampaikan, kemudian dikemas dengan cara membuat orang tertawa, bukan dengan cara-cara yang semacam pelecehan.
"Jika ada unsur pelecehan, itu termasuk kesenian yang nilainya murahan, rendahan, karena membuatnya tidak berdasarkan kreativitas. Mengapa disebut tidak ada kreativitas karena hanya dengan mengubah atau membalik-balikkan sesuatu. Ini harus dicermati," ujar Prof Arya.
Oleh karenanya, guru besar seni karawitan itu mengatakan pihaknya akan melakukan sosialisasi terhadap fenomena lelucon murahan itu agar tidak berlarut-larut, juga serangkaian dengan sosialisasi pelindungan tari sakral.
"Apalagi yang dilecehkan tari sakral, sudah jelas menyalahi pakem. Kita harus ajari anak-anak kita cara membuat lelucon yang bagus agar pembagian kesenian juga jelas," katanya.
Di sisi lain, Prof Arya juga melihat pembagian kesenian Bali sekarang ini terkesan amburadul antara kesenian yang tergolong hiburan, dan yang serius.
"Kadang ada pertunjukan yang serius, tetapi ada leluconnya yang tidak pada tempatnya, seperti adegan raja diambil kepalanya. Ini sudah kebablasan istilahnya, ini yang sedang kami tata juga," ucapnya.***3***
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019