"Saya menyebut saat ini adalah periode 'Post Java', karena telah berubahnya peta politik dan kekuasaan di negeri ini. Semula berpusat pada tradisi dan gagasan
kebudayaan Jawa yakni pada kekuasaan elite, kini beralih pada kekuasaan rakyat yang egaliter,” ujar Fachry Ali, pada sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Bappenas utamakan swasta dalam negeri biayai pembangunan ibu kota
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada Senin (26/8), telah mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yakni di Kabupaten Penajam Paser Utara dan di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Pada diskusi "Kajian Lingkungan Strategis: Pemindahan Ibu Kota di Kalimantan Timur" itu, Fachry Ali menjelaskan, dalam gagasan politik Jawa, kekuasaan itu sangat elitis dan penguasa berada di tengah atau di atas rakyat.
Baca juga: Bappenas paparkan dampak ekonomi pemindahan ibu kota di kongres duniao
Pandangan itu dalam jangka waktu sangat lama, kata dia, mempengaruhi politik dan kekuasaan di Tanah Air.
Namun, ketika situasi politik nasional berubah ke era reformasi, kata dia, maka membuka kesempatan kepada setiap rakyat bisa tampil dan bertarung dalam kontestasi politik, baik pada Pilkada maupun Pilpres. "Hal ini secara berangsur-angsur mengubah gagasan politik Jawa," katanya.
Menurut Fachry, perubahan drastis yang terjadi saat Joko Widodo terpilih sebagai Presiden, terutama ketika dia menegaskan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan, dan kemudian secara resmi mengumumkan tempat ibu kota baru, yakni di Kalimantan Timur, maka berakhirlah era kekuasaan Jawa.
Baca juga: Pemindahan ibu kota negara perlu kerja sama berbagai pihak
"Jokowi adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat, bukan penunjukan dari kelas elite. Jadi, dia murni pemimpin yang berasal dari rakyat," katanya.
Fachry menambahkan, sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga adalah Presiden yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu presiden langsung pada 2004 dan 2009, tetapi pandangan dan kebijakannya masih bergantung pada pola gagasan kekuasaan Jawa.
Pada diskusi tersebut, Fachry juga memuji, posisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dinilai sangat penting dan strategis, karena dalam perbincangan publik mengenai pemindahan ibu kota, fokus masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia, pada aspek lingkungan dan daya dukung wilayah Kalimantan.
"Inisiatif KLHK mengumpulkan elemen masyarakat yang ahli dalam berbagai bidang sangat baik dan strategis dan banyak masukan yang bernas dari diskusi ini. Saya mendukung KLHK untuk terus melakukan kajian yang lebih fokus, sehingga sejarah baru pemindahan ibu kota dan awal periode 'Post Java' akan berjalan mulus,” ujar Fachry.
Sementara itu, Inspektur Jenderal KLHK, Laksmi Wijayanti, mengatakan, pada proses pemindahan ibu kota negara ini, harus juga melihat bagaimana posisi Kalimantan Timur dalam konteks Indonesia secara keseluruhan, bagaimana disparitas terhadap provinsi lainnya sehingga bisa menganalisa berbagai hal dengan valid. "Visi kita, semua pembangunan dan persiapan ibu kota harus green dan juga membangun kebiasaan dan budaya jalan kaki lebih dipraktikkan,” katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019