"Jokowi seharusnya paham hasil tindakan KPK membantai elit lah yang kemudian memunculkan namanya," ujar Fachry dalam acara Simposium peneliti Jokowi ketiga, di Utan Kayu Jakarta, Kamis.
Tindakan tersebut, dibalas para elit dengan membantai KPK dengan perlakuan yang sama. Itu karena susunan kekuasaan yang berada di pemerintahan Jokowi berlangsung sangat kondusif untuk para elit tersebut.
Transformasi dari era pascajawa orde baru menuju demokratisasi yang sebenarnya itu, menurut Fachry, akan kuat apabila Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berusaha menjadi pendamping Jokowi dalam membangun etika sosial dalam antikorupsi.
"NU dan Muhammadiyah harus membangun dasar etik dan dukungan moral bagi Jokowi dalam memberantas korupsi," saran Fachry.
Menurut Fachry, Jokowi kini berada dalam oligarki partai politik, yang orang-orangnya banyak diamankan KPK. Karena sistem kekuasaan yang kondusif, Jokowi berkompromi dalam hal-hal seperti itu.
Baca juga: BPK akan berikan rekomendasi kepada Kemenpora soal hibah KONI
Baca juga: Imam Nahrawi tersangka, Presiden Jokowi segera putuskan pengganti
Baca juga: Presiden Jokowi minta pendapat Buya Syafii pilih menteri kabinet
Fachry mengenang di massa orde baru, partai sangat disepelekan. Saat itu berlangsung birokratif politik, dimana keputusan tidak diambil dari artikulasi massa. Tetapi dari dalam birokrasi itu sendiri.
"Kaum intelektual berusaha membela parpol pada massa itu. Tapi tidak berhasil. Kini massa reformasi, partai justru paling berkuasa dan merontokkan birokrasi politik tadi," ujar Fachry.
Kondisi itu juga menurut Fachri menyebabkan mengapa revisi UU KPK begitu mudah disahkan oleh DPR.
Ditambah lagi, NU dan Muhammadiyah hanya berdiam diri saat KPK diotak-atik. Jokowi menurut dia, harus bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan liberatif untuk lepas dari kekuatan-kekuatan saat ini.
"Tentu Jokowi tidak boleh dibiarkan sendiri. Sebab, Jokowi adalah produk perubahan sosiopolitik yang berlangsung pascajawa," ujar Fachry.
Dalam simposium peneliti Jokowi ketiga di teater utan kayu Jakarta Kamis, para peneliti Jokowi berkumpul dan berdiskusi membahas fenomena politik Jokowi. Fokus kegiatan tertuju pada tema besar kegiatan yakni “Indonesia Pasca-Jawa“.
Inisiator kegiatan tersebut, Arief Rosyid Hasan mengatakan kegiatan itu didasarkan pada realitas karakter kekuasaan Jokowi yang telah cukup mampu mengubah cara pandang kekuasaan yang sebelumnya selalu Jawa-Sentris menjadi Indonesia-Sentris.
“Di bawah kepemimpinan Jokowi, kita melihat adanya pergesaran karakter kekuasaan yang selalu Jawa-Sentris menjadi Indonesia-Sentris. Gaya kepemimpinan itu melampaui pemimpin-pemimpin negara kita sebelumnya," kata Arief di Jakarta, Kamis.
Kegiatan simposium peneliti Jokowi ketiga itu menghadirkan empat narasumber diantaranya yaitu Pengamat Sosio-Politik LIPI, Fachry Ali, mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Kabinet Gotong Royong, Manuel Kaisiepo, Akademisi UGM/UNHAN Aris Arif Mundayat, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU, Asep Salahuddin, dan juga sebagai Moderator dalam kegiatan tersebut adalah Pimpinan Redaksi, The Jakarta Post, Nezar Patria.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019