"Ketentuan pasal ini merupakan materi yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP lama. Pada saat ini di perdesaan masih diperlukan untuk melindungi para petani," Yasonna di Gedung Kemenkumham, Jakarta, Jumat.
Yasonna menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang juga dihadiri oleh Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi dan tim.
Baca juga: Kemenkumham bentuk tim sosialisasi KUHP yang baru
Revisi KUHP Pasal 278 menyebutkan, "Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II."
"Jadi, setiap orang membiarkan unggas di ternaknya berjalan di kebun justru ancamannya kita buat kategori dua menjadi lebih rendah dari apa yang diatur KUHP. Mengapa ini masih diatu,r kita ini masih ada desa," tambah Yasonna
Dalam KUHP lama Pasal 548 disebutkan bahwa barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
"Masyarakat kita banyak yang agraris, banyak petani di mana banyak masyarakat yang membibitkan, nyawah, dan lainnya, ada orang usil dia tidak pidana badan. Dia hanya denda dan itu ada KUHP lama dan di KUHP lama lebih berat sanksinya, nah, kita buat lebih rendah. Jadi, jangan dikatakan mengkriminalisasi," ungkap Yasonna.
Baca juga: Yasonna: Menghina kebijakan presiden tidak dipidana
Muladi menambahkan bahwa kritik terhadap revisi KUHP dilakukan secara sporadis dan ad hoc.
"Aritnya, tidak mendasar karena sebenarnya rancangan KUHP ini rekodifikasi total, bukan amendemen, bukan revisi untuk membongkar pengaruh kolonial Belanda 100 tahun, jangan sampai gagal, ditunda boleh tetapi gagal berarti kita cinta penjajahan," kata Muladi.
Dalam merumuskan KUHP, menurut Muladi, tim perumus selalu menggunakan margin appreciation dan testing stone atau batu penguji, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun1945, HAM dan kewajiban HAM, dan asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.
Pada hari Jumat, Presiden RI Joko Widodo meminta adanya penundaan pengesahan RKUHP karena masih ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang dan berharap pengesahan RKUHP itu dilakukan DPR periode 2019—2024.
Presiden juga meminta Yasonna untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat.
Revisi KUHP dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai sejak Presiden mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP pada tanggal 5 Juni 2015 namun selalu tertunda.
Baca juga: Presiden minta DPR tunda pengesahan RUU KUHP
Sebelumnya, RKUHP dijadwalkan akan disahkan pada rapat paripurna DPR RI, 24 September 2019.
KUHP yang saat ini diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.
Rencara revisi KUHP sendiri sudah dimulai sejak satu seminar 1963. Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol. Tim melakukan rekodifikasi KUHP Hindia Belanda.
RKUHP kemudian baru mengalami kemajuan ketika Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Muladi sempat mengajukan RKUHP ini ke Sekretariat Negara. Namun, baru pada tahun 2013 DPR secara intensif melakukan pembahasan RKUHP.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019