"Mengingat dampak buruk dari segi medis dan lain-lain yang akan muncul di kemudian hari, terutama terhadap anak dan dewasa, rokok elektronik perlu diatur tegas," kata Eka dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta, Selasa.
Eka mengatakan sejak 2015, hampir dua per tiga negara-negara di dunia sudah memiliki aturan tentang rokok elektronik.
Di banyak negara, rokok elektroniik memang masih diperdebatkan karena banyak potensi konflik. Aturan tentang pengendalian tembakau di masing-masing negara juga berbeda-beda.
"Karena itu, aturan tentang rokok elektronik sangat bervariasi antara negara-negara di dunia, mulai dari tidak ada pengaturan hingga pelarangan," ujarnya.
Di Jepang, misalnya, rokok elektronik adalah barang yang ilegal. Penduduk Jepang "dipaksa" menggunakan produk nonnikotin sebagai alternatif rokok.
Sedangkan di Britania Raya, rokok elektronik awalnya memiliki izin sebagai obat, tetapi sejak Februari 2018 tidak ada lagi penjualan rokok elektronik yang diizinkan sebagai obat kecuali dengan resep dokter.
"Di Australia, rokok elektronik dilegalkan tetapi dengan aturan yang sangat ketat," tuturnya.
Eka menjadi salah satu narasumber jumpa pers bertema "Rokok Elektronik Makan Korban" yang diadakan Komite Nasional Pengendalian Tembakau.
Selain Agus, narasumber lain adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Aryo Suryo Kuncoro, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto, Sekretaris Bidang Hubungan Masyarakat dan Kesejahteraan Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Catharine Mayung Sambo, pegiat Green Crescent Indonesia Hari Nugroho, dan Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo.
Baca juga: BPOM tegaskan tidak ada izin edar rokok elektronik
Baca juga: Dokter paru: Dampak rokok elektronik dan rokok biasa sama buruknya
Baca juga: Koalisi masyarakat minta pemerintah atur peredaran rokok elektronik
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019