"Gerakan sosial ini lebih banyak didorong oleh adanya ketidakpuasan elemen masyarakat terhadap keputusan politik DPR dalam melakukan perubahan undang-undang yang tidak populis, seperi revisi undang-undang KPK, KUHAP, pertanahan dan lain-lain," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Rabu.
Dia mengemukakan hal itu, ketika dimintai pandangan seputar fenomena gerakan sosial yang dilakukan elemen masyarakat dan mahasiswa dalam beberapa hari terakhir ini, dan kemungkinan ada agenda terselubung dibalik gerakan ini.
Baca juga: Kemenristekdikti data mahasiswa terluka akibat demo
Baca juga: MUI: Hentikan kekerasan terhadap demonstran
Ahmad Atang menjelaskan, jika dilihat dari rentang waktu masa kerja DPR 2014-2019 tinggal menghitung hari, namun terkesan dipaksakan untuk mensahkan RUU tersebut.
Kondisi inilah yang menimbulkan kecurigaan publik terkait ada apa dibalik revisi UU dimaksud dalam waktu yang relatif singkat ini.
"Situasi ini dipertajam dengan adanya isi revisi undang-undang yang menimbulkan pro dan kontra, sehingga publik menuntut agar DPR menghentikan paripurna," katanya.
Dia mengatakan, tuntutan publik tersebut direspon oleh pemerintah, dengan menunda lima dari delapan RUU yang diajukan untuk disyahkan, dan hanya tiga RUU yang disetujui oleh pemerintah untuk disahkan.
Artinya, di akhir masa jabatan, DPR justru mengambil keputusan politik yang kontra produktif. Langkah ini merupakan catatan buruk wajah parlemen, kata Ahmad Atang.
Karena itu, kegaduhan ini diciptakan oleh DPR, sehingga membenturkan rakyat dengan pemerintah yang ujung ujungnya Presiden Jokowi yang disalahkan atas apa yang dibuat oleh dewan, kata staf mengajar ilmu komunikasi politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu.*
Baca juga: Demo mahasiswa, peristiwa di Sulsel diharapkan jadi pembelajaran
Baca juga: Usai demo, kerangka kendaraan teronggok di tepi jalan
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019