Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Provinsi Sumatera Selatan Nur Ahmadi di Palembang, Rabu, mengatakan biasanya pabrik memberlakukan tiga shift jam kerja dalam satu hari dengan tiap-tiap shift bekerja untuk delapan jam.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir hanya memberlakukan satu hingga dua shift saja lantaran volume bahan baku jauh berkurang.
Baca juga: Konsumsi karet alam domestik baru 20 persen
“Saat ini petani malas nyadap (memanen) getah karena harga sangat murah, belum lagi mereka juga dihadapkan persoalan wabah gugur daun, yang mana produksi getah jauh menurun,” kata dia yang dijumpai di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan di Palembang, Rabu.
Kondisi ini membuat pengusaha karet kesulitan mengingat untuk mengekspor karet dalam bentuk SIR 10 dan SIR 20 diberlakukan ketentuan minimal untuk volumenya.
“Ya saat ini bisa dikatakan, pengusaha itu hanya bertahan. Tapi belum bisa dikatakan bangkrut,” kata dia.
Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini mengingat penurunan harga komoditas karet itu sudah terjadi sejak 2013.
Pada 2019 ini, harga masih di bawah standar yakni hanya berkisar 1,3 dolar fob/kg, sehingga di tingkat petani hanya sektiar Rp5.000—Rp7.000/kg, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000/kg.
Baca juga: Kemenperin tarik investor industri karet dan plastik untuk kurangi impor
Kemudian, data terakhir menunjukkan terjadi penurunan ekspor karet Sumsel pada Mei 2019 sebesar 22 persen, sejalan penurunan produksi karet Sumsel yang menyusut hingga 40 persen menjadi 583 ribu ton per kuartal I 2019. Padahal pada periode 2017-2018, produksi karet secara kuartalan berada di kisaran 971 ribu ton.
“Artinya dengan adanya pengurangan shift kerja ini, muncul pengangguran yang tidak kentara. Lambat laun pasti akan berpengaruh pada perekonomian,” kata dia.
Untuk itu, Gapkindo menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor karet ini mengingat keinginan untuk membangun industri hilirisasi hingga kini sebatas wacana karena tak kunjung terealisasi.
Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatna Yunita Resmi Sari mengatakan persoalan sektor karet ini kini menjadi konsentrasi semua pihak baik di daerah maupun di pemerintahan pusat.
“Arahnya saat ini bagaimana membangun hilirisasi karet, seperti membangun pabrik ban karena diakui penyerapan tertinggi karet itu untuk pembuatan ban. Sementara untuk aspal karet hanya sekitar 7,0 persen dan tidak terus menerus permintaannya,” kata Yunita.
Sembari merealisasikan rencana ini, pemerintah akan berupa membenahi tata niaga karet mengingat terjadi ketidakadilan dalam pembagian keuntungan antara sisi hulu (petani) dan sisi hilir.
Baca juga: Pengembangan industri plastik dan karet hilir prospektif
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019