Pementasan lakon tersebut digelar pada 27-28 September pukul 15.00 WIB di Studio 7, TVRI Senayan, Jakarta.
Maudy mengungkapkan pementasan itu diawali ketika ia membacakan narasi tentang makna pohon Sentubung dan Sengoris dalam kehidupan orang rimba pada acara Sokola Institute setahun lalu.
"Hal tersebut mendorong saya untuk mengenal budaya mereka lebih jauh, kemudian menginspirasi saya dan teman-teman yang tergabung dalam Panggung Bercerita menceritakan filosofi orang rimba yang begitu dalam terhadap alam," ujar Maudy dalam keterangan pers, Sabtu.
Maudy yang jadi produser dan narator "Beralas Bumi, Beratap Langit" itu kemudian melakukan survei dan menyampaikan niat pada perwakilan Orang Rimba, Pengendum, untuk membuat catatan dan menangkap suasana di sana agar dapat tergambar dalam pementasan.
Dalam enam puluh menit, Maudy Koesnaedi bercerita tentang perjalanan hidup Orang Rimba, masyarakat adat yang masih tinggal di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi di mana kehidupan mereka masih erat dengan hutan.
Orang Rimba percaya bahwa mulai dari dalam kandungan, dilahirkan, hingga kematian, semuanya terikat dengan alam. Mereka pun percaya bahwa alam yang menghubungkan Orang Rimba dengan Tuhan.
Kebudayaan Orang Rimba yang tercermin dalam kehidupan mereka dengan alam, membentuk sebuah keseimbangan menjadi orang-orang yang hidu beralas bumi, beratap langit.
Orang Rimba memiliki aturan adat yang harus diterapkan, berlaku bagi siapapun tak terkecuali, apalagi soal menjaga hutan.
Bagi mereka, hutan merupakan sumber makanan, obat-obatan, penghidupan untuk mereka. Pepohonan yang tumbuh seperti Sentubung, Sengeris, dan Sialang sangat mereka lindungi.
Bila ada yang berani menebang pohon, akan dihukum dengan denda yang besar. Satu pohon dianggap sama dengan satu nyawa manusia, begitulah orang rimba merawat hutan seperti merawat dirinya sendiri yang sangat berharga.
Pementasan ini diisi oleh para pemain seperti Lutfi Ardiansyah, Bobby Tanamas, Audi Pratama, Kiel Dharmawel, Jagat Alfath Nusantara, Fauzia Rahmatika dan Maudy Widitya.
Pementasan juga didukung dengan tata busana garapan Teguh Yasa Abratama, tata dialek oleh Jagat Alfath Nusantara, tata artistik garapan Joko Kurnain, tata cahaya besutan Aji Sangiaji dan diiringi musik yang ditata oleh Mia Ismi Halida dan Yesaya Samudra serta dokumentasi Andi Kanemoto.
Naskah yang ditulis oleh Kiel Dharmawel dan Faisal Syahreza dan Kiel Dharmawel ditampilkan secara indah di bawah pimpinan produksi Laura Althea, dan arahan sutradara Wawan Sofwan.
Baca juga: Tingkah menggemaskan Jan Ethes dalam pentas musik di Surakarta
Baca juga: Tetap aktif main teater, ini rahasia Slamet Rahardjo jaga stamina
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2019