Dialog interaktif yang mengambil tema "Memelihara Toleransi Perkuat NKRI" diselenggarakan Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember bekerja sama Kementerian Kominfo RI digelar di halaman Gedung Soerachman Kampus Unej.
"Media sosial kini menjadi kebutuhan bagi masyarakat di era revolusi industri 4.0, termasuk di Indonesia. Kekuatan medsos tidak bisa dipandang remeh," kata Bambang Gunawan di Kampus Unej.
Menurut riset We Are Social tahun 2019 tercatat 150 juta pengguna media sosial di nusantara dan data itu menunjukkan bahwa kekuatan media sosial cukup besar, artinya jika digunakan untuk tujuan yang baik maka media sosial akan memberikan manfaat yang luar biasa dan sebaliknya jika salah menggunakannya, maka media sosial bisa membawa dampak negatif yang merusak.
Baca juga: Media sosial sebagai sarana mata-mata diminta diwaspadai
"Saat ini PBB telah mengakui bahwasanya pemanfaatan media sosial adalah bagian dari Hak Asasi Manusia, oleh karena itu pemerintah menjamin warganya untuk menggunakan media sosial," tuturnya.
Dari data yang ada, diperkirakan ada 300 juta telepon seluler yang beredar di Indonesia, sementara jumlah rakyat Indonesia di angka 260 juta jiwa, sehingga data itu menggambarkan aktifnya media sosial di Indoensia.
"Namun di sisi lain, penyalahgunaan media sosial masih marak terjadi, termasuk penyebaran hoaks yang berpotensi merusak toleransi dan persatuan NKRI," ucap alumnus Prodi Hubungan Internasional FISIP Unej itu.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Kominfo mengambil langkah take down dan slow down untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Take down artinya menghapus situs dan media sosial tertentu seperti situs radikal, sedangkan slow down adalah tindakan memperlambat koneksi internet, seperti yang dilakukan saat sidang kasus Pilpres di MK dan saat kerusuhan di Papua.
"Kementerian Kominfo terus berusaha agar masyarakat Indonesia lebih bijaksana dalam bermedia sosial, di antaranya dengan gencar menyosialisasikan literasi media dan literasi digital termasuk budaya cek dan ricek," ujarnya.
Baca juga: Media sosial kini jadi wadah diplomasi secara digital
Bambang mengakui bahwa budaya baca di Indonesia masih rendah, maka tidak heran jika terkadang tanpa membaca dengan tuntas sebuah informasi, maka masyarakat langsung menyebarkan kepada orang lain.
"Ditambah lagi kentalnya budaya ngerumpi maka informasi yang salah bisa tersebar dengan cepat, sehingga salah satu cara meningkatkan literasi media dan literasi digital yakni dengan kegiatan Bincang Teras Negeriku yang menyasar kalangan muda seperti mahasiswa," katanya.
Sementara Ketua LP3M Unej Akhmad Taufiq menekankan pada pentingnya pembentukan kedewasaan sosial masyarakat Indonesia dan dengan kondisi Indonesia yang tersusun atas beragam agama, suku, bahasa dan adat istiadat maka sudah seharusnya semua paham akan batas sensitivitas yang ada.
"Masyarakat harus makin dewasa, jangan sampai batas sensivitas tadi ditabrak, semisal mengenai suku, agama, ras dan antar golongan," tuturnya.
Ia menjelaskan pemerintah memang bisa membatasi akses kepada media sosial, tetapi jika tidak diimbangi dengan pendekatan persuasif kepada subjek semisal kelompok berbasis ideologis, maka pembatasan tadi tidak akan selalu berhasil, sehingga kata kuncinya memang kedewasaan sosial dan toleransi.
Sementara Wakil Rektor III Unej Prof M. Sulthon Mashud berharap agar kegiatan Bincang Teras Negeriku menjadi bagian dari pendidikan karakter di Kampus Tegalboto Unej dan kegiatan itu juga menjadi kegiatan pembuka dari rangkaian kegiatan Festival Literasi Nusantara yang digelar oleh LP3M dalam rangka Dies Natalis ke 55 Unej.
Baca juga: Pers diingatkan tak ikuti viral di media sosial
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019