"PP No.78 ini harus direvisi. Harus dicabut karena ternyata menjadi masalah tentang mekanisme penetapan upah minimumnya," kata Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Joko Haryono saat memimpin jalannya aksi dari dari ratusan perwakilannya di kawasan DPR/MPR, Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa ukuran penetapan upah minimum seharusnya dibuat berdasarkan tingkat perekonomian di daerah masing-masing, bukan dengan parameter inflasi nasional.
"Namanya UMK itu upah minimum kabupaten, UMP itu upah minimum provinsi, enggak boleh kemudian diputuskan dengan menggunakan parameter inflasi nasional atau produk domestik bruto (PDB) nasional, sehingga tidak semrawut."
"Yang inflasinya rendah dipaksa harus tinggi. Yang tinggi ditekan rendah. Di situ terjadi masalah. Kalau inflasinya rendah dia jadi penyumbang inflasi. Tapi kalau inflasinya tinggi, maka terjadi penurunan daya beli," katanya.
Oleh karena itu, dalam unjuk rasa yang diikuti oleh puluhan ribu buruh itu, massa buruh menuntut agar penetapan upah minimum dibuat berdasarkan tingkat ekonomi atau inflasi di masing-masing daerah.
Sehingga jika ada tuntutan kenaikan upah, hal tersebut ditujukan untuk menyesuaikan upah buruh tersebut dengan tingkat ekonomi dan daya beli masyarakat di daerah tersebut.
Selain menuntut revisi PP No.78/2015 tentang pengupahan, massa buruh juga menolak revisi UU ketenagakerjaan No.13/2003 yang dianggap merugikan buruh dan menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya kelas 3.
Massa buruh sudah tiba di kawasan DPR sejak sekitar pukul 10.00 WIB dan terus bergerak menuju ke depan Gedung DPR/MPR untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Massa aksi berasal dari sejumlah serikat pekerja seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), FSPMI, SPN, Asosiasi Pekerja (Aspek) dan serikat buruh lainnya.
Baca juga: KSPI minta Presiden segera merevisi PP Nomor 78
Baca juga: Papua Barat siap terapkan ump 2019
Baca juga: Serikat Pekerja Nasional tuntut pembubaran BPJS Kesehatan
Pewarta: Katriana
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019