• Beranda
  • Berita
  • Pengamat inginkan regulasi perikanan bebas tumpang tindih

Pengamat inginkan regulasi perikanan bebas tumpang tindih

2 Oktober 2019 17:12 WIB
Pengamat inginkan regulasi perikanan bebas tumpang tindih
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim. ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi

Pastikan adanya sinkronisasi kebijakan turunan di level antarinstansi

Pengamat sektor perikanan Abdul Halim menginginkan DPR RI periode baru dapat memastikan berbagai regulasi di sektor perikanan terbebas dari permasalahan tumpang tindih antarinstansi.

"Pastikan adanya sinkronisasi kebijakan turunan di level antarinstansi agar tidak terjadi substansi produk hukum turunan yang saling melemahkan," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, salah satu permasalahan yang tumpang tindih dan saling melemahkan adalah terkait dengan UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, khususnya yang menyangkut dengan izin impor garam.

Selain itu, ujar dia, belakangan juga dinilai terjadi persoalan terkait izin impor ikan antara KKP dan Kementerian Perdagangan.

Baca juga: Menko Luhut apresiasi sektor perikanan di tengah ketidakpastian global

Di tempat terpisah, LSM Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyatakan regulasi tentang impor ikan yang termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 23/2019 tentang Impor Hasil Perikanan terlalu longgar dan kurang melindungi keamanan pangan.

"Permendag 23/2019 terlalu liberal, longgar dan tidak melindungi konsumen ikan dalam negeri karena ketertelusuran dan penelusuran teknis ikan asal negara tidak lagi menjadi syarat impor," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Abdi Suhufan.

Selain itu, ujar dia, ketentuan tersebut mempermudah pelaksanaan impor dengan tidak lagi mewajibkan bukti kepemilikan sarana pendingin oleh importir. Kelonggaran itu menyebabkan konsumen ikan menjadi tidak terlindungi dengan masuknya ikan impor.

Ia berpendapat bahwa regulasi itu kontradiksi dengan upaya dunia internasional yang terus meningkatkan standar keamanan hasil perikanan.

"Di saat Eropa dan Amerika memperketat verifikasi dan ketertelusuran ikan asal Indonesia, kita justru mempermudah masuknya impor ikan, ini ironi," katanya.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendesak berbagai lembaga terkait melakukan pembenahan dan penguatan data terkait kuota impor perikanan agar Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap direksi Perum Perindo tidak terjadi lagi ke depannya.

"Harusnya ditelusuri berapa kuota yang kita butuhkan, karena selama ini kan kuota impor sarat dengan kepentingan," kata Sekjen Kiara Susan Herawati kepada Antara di Jakarta, Selasa (24/9).

Menurut Susan, kuota impor seperti yang terjadi di sektor perikanan sangat berpotensi menjadi ladang korupsi.

Untuk itu, ujar dia, seharusnya pemerintah juga lebih keras dalam membenahi fasilitas dan sarana bidang perikanan seperti menghidupkan kembali tempat pelelangan ikan di berbagai daerah.

Ia juga berpendapat bahwa seharusnya kuota di bidang perikanan juga belajar dari bidang pergaraman di mana terjadi perbedaan kebutuhan garam industri antara berbagai pihak sehingga berpotensi menimbulkan celah untuk memainkan kuota.

Baca juga: LSM sebut regulasi impor perikanan terlalu longgar
Baca juga: Kiara desak pembenahan data kuota impor perikanan

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019