• Beranda
  • Berita
  • Pengamat: Revisi UU Perikanan, jangan dilakukan terburu-buru

Pengamat: Revisi UU Perikanan, jangan dilakukan terburu-buru

2 Oktober 2019 18:58 WIB
Pengamat: Revisi UU Perikanan, jangan dilakukan terburu-buru
Deretan kapal nelayan. ANTARA/HO/Dokumentasi KKP

Pastikan bahwa produk hukum yang sudah dihasilkan dipastikan berorientasi kepada penguatan bangunan kemandirian perikanan nasional

Pengamat sektor kelautan serta Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan Undang-Undang Perikanan bila ingin direvisi oleh DPR RI periode 2019-2024, maka hasil produknya harus membangun kemandirian dari para pelaku usaha perikanan nasional.

"Pastikan bahwa produk hukum yang sudah dihasilkan dipastikan berorientasi kepada penguatan bangunan kemandirian perikanan nasional," kata Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2019 itu berhembus wacana akan dilakukannya revisi Undang-Undang Perikanan yang ada pada saat ini, antara lain agar dapat menjerat lebih kuat lagi korporasi yang terkait penangkapan ikan ilegal.

Abdul Halim mengingatkan bahwa bila dilakukan revisi maka harus dilakukan dengan matang dan tidak terburu-buru atau tergesa-gesa.

"Mungkin bukan dipercepat, melainkan ditelaah kembali agar menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan tujuan nasional," katanya.

Menurut dia, bila jadi direvisi maka sejumlah hal yang perlu diubah dalam Undang-Undang Perikanan, antara lain adalah definisi nelayan kecil, mekanisme menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana perikanan, serta mekanisme sinergi pemerintah dan pemda terkait dengan pengelolaan perikanan.

Selain itu ia juga mengingatkan pentingnya sinkronisasi perizinan di sektor perikanan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan perlindungan lingkungan hidup.

​​​​​"Pendek kata, DPR periode 2019-2024 bertanggung jawab untuk memperkuat capaian yang sudah diperoleh pada periode sebelumnya dan bersikap terbuka terhadap upaya-upaya korektif sesuai dengan kewenangannya untuk menghadirkan perubahan tata kelola di bidang kelautan dan perikanan," katanya.

Hal tersebut, lanjut Abdul Halim, adalah penting agar ada perubahan paradigma dari pendekatan eksploitatif-asumtif ke arah tata kelola perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab berbasis pendekatan saintifik dan peningkatan sinergi relasi antara pemerintah dan pemda.

Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengapresiasi berbagai kebijakan dan kinerja yang ditunjukkan oleh sektor perikanan nasional, terutama mengingat kondisi ekonomi dunia masih mengalami ketidakpastian global.

"Kondisi ekonomi saat ini tidak baik akibat trade war (perang dagang)," kata Luhut saat memberikan sambutan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Pasar Minggu, Jakarta, Rabu.

Menurut Luhut, meski sejumlah harga komoditas perdagangan utama mengalami penurunan sejak tahun lalu, tetapi di antara negara berkembang lainnya, Republik Indonesia tumbuh stabil.

Selain itu, masih menurut dia, performa rupiah cukup baik dan masyarakat juga dinilai masih memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah. Menko Maritim juga menyebutkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu penyumpang terbesar PDB nasional.

"Potensi kelautan yang kita miliki sampai 1,2 triliun dolar per tahun, yang potensinya itu belum dieksploitasi secara maksimal," katanya.

Baca juga: Menteri Susi harapkan kata "penenggalaman" tidak hilang dalam UU Perikanan

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019