"Kami sedang menyiapkan sistem peringatan dini yang mampu memberikan peringatan dua menit setelah kejadian. Saat ini, kami masih berupaya," ujar Dwikorita dalam seminar di Universitas Terbuka di Tangerang Selatan, Banten, Kamis.
Pihaknya masih berupaya menemukan algoritma baru untuk mendeteksi tsunami lebih cepat setelah gempa ataupun longsor yang ada di dasar laut. Pihaknya melibatkan sejumlah pakar matematika, fisika hingga geofisika.
Saat ini, pihaknya baru bisa mendeteksi peringatan dini untuk tsunami yang disebabkan gempa tektonik dan belum bisa mendeteksi gempa yang disebabkan oleh longsor bawah laut maupun erupsi gunung api.
Peringatan dini yang ada mengantisipasi tsunami akibat gempa tektonik, sama halnya yang terjadi di Aceh pada 2014.
"Kita belum mendeteksi dan memberikan peringatan dini untuk tsunami yang tidak disebabkan gempa tektonik," kata Dwikorita.
Dia memberi contoh gempa Palu yang kemudian diikuti dengan tsunami dan likuefaksi, seharusnya tidak terjadi tsunami karena patahan aktif dan hal itu belum pernah terjadi pada tsunami sebelumnya.
Namun yang terjadi adalah longsor di bawah laut yang menyebabkan terjadinya tsunami. Begitu juga tsunami Selat Sunda, yang disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau.
Dwikorita menjelaskan biasanya peringatan dini yang ada bekerja maksimal 20 menit setelah gempa tektonik. Paling cepat peringatan dini baru bisa dideteksi lima menit setelah gempa. Padahal tsunami datang dua menit setelah gempa. Dengan kata lain, sistem yang ada saat ini belum bisa memberikan peringatan dini secara tepat.
"Kami sedang berupaya agar bisa membuat sistem peringatan dini yang lebih cepat," katanya.
Untuk sementara, pihaknya menyarankan agar masyarakat yang berada di sekitar pantai segera mencari tempat yang lebih tinggi dalam hitungan ke-10 setelah gempa.
"Mari kita bersama-sama membangun sistem peringatan dini yang lebih baik dan lebih cepatt," ajak Dwikorita.
Rektor Universitas Terbuka Prof Ojat Darojat mengatakan sains dan teknologi sangat berperan dalam kesiapsiagaan bencana.
"Apalagi Indonesia secara geografis rawan gempa bumi dan bencana alam lainnya," kata Ojat.
Ojat menambahkan para pakar maupun ilmuwan perlu bahu-membahu dalam mewujudkan sistem peringatan dini yang lebih baik lagi.
"Hal itu dikarenakan penanggulangan bencana merupakan bagian integral pembangunan bangsa," kata Ojat.
Baca juga: BMKG sebut hanya Indonesia yang deteksi tsunami Palu
Baca juga: Alat deteksi tsunami di Agam berfungsi 100 persen
Baca juga: Pariaman kehilangan tiga baterai sirene peringatan tsunami
Pewarta: Indriani
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019