Pembiayaan investasi total sebesar Rp27.835 triliun itu terdiri dari Rp7.638 triliun untuk pencapaian target SDGs pada periode 2020 sampai 2024 dan Rp20.197 triliun untuk periode 2025 hingga 2030.
“SDGs ini tujuan global yang sangat ambisius karena kalau tidak ambisius nanti akan bernasib sama dengan tujuan pembangunan sebelumnya yang dicanangkan serius di awal kemudian ternyata tidak mencapai sasaran,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam SDGs Annual Conference 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu.
Baca juga: Pemerintah butuh dana Rp7.638 triliun untuk SDGs periode 2020-2024
Bahkan, Bambang mengatakan bahwa pada 2030 kebutuhan pembiayaan untuk SDGs mencapai Rp10.397 triliun dan itu sangat jauh berbeda dengan 2020 yaitu Rp2.867 triliun. Ini berarti untuk 2025 sampai 2029 membutuhkan dana Rp9.800 triliun.
“Pada 2030 tentunya membutuhkan dana yang lebih besar karena tantangan makin berat yaitu mencapai di atas Rp10 ribu triliun,” ujarnya.
Ia menuturkan biaya yang dibutuhkan untuk 2030 sebesar Rp10.397 triliun itu masuk dalam kategori intervensi tertinggi dari tiga skenario pembiayaan SDGs Indonesia pada 2030. Sementara dua skenario lain terdiri dari Bussiness as Usual Rp7.721 triliun dan Intervensi Moderat Rp9.405 triliun.
Baca juga: Kepala Bappenas dorong pemanfaatan dana zakat untuk capai SDGs
“Mendekati nanti lima tahun terkahir pencapaian SDGs 2030 maka pasti effort nya lebih besar dan butuh biaya yang lebih besar dari pemerintah maupun non pemerintah,” ujarnya.
Menurut Bambang besaran anggaran tersebut adalah angka ideal yang perlu dianggarkan untuk mencapai target-target dalam 17 program SDGs sebab peluang dalam mencapai target akan semakin besar dibandingkan dengan memilih angka pada dua skenario lainnya.
“Kalau mau yang ideal kita harus ambil yang tinggi karena dengan demikian pencapaian targetnya menjadi lebih mungkin, sedangkan kalau Bussiness as Usual saya yakin hasilnya as usual juga yaitu gagal dalam mencapai target,” ujarnya.
Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa dalam memenuhi anggaran itu tidak bisa hanya mengandalkan dari pemerintah yakni melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebab besaran belanja negara pada APBN untuk 2020 saja Rp2.528,8 triliun.
“Jadi artinya memakai dana APBN pun sudah pasti tidak cukup, apalagi dengan anggaran APBN yang memang untuk pencapaian SDGs,” katanya.
Oleh sebab itu, Bambang menuturkan perlu kontribusi dari non-pemerintah dalam pendanaan itu sebab program SDGs didesain multiplatform yang melibatkan kerjasama berbagai pihak sehingga tidak bisa hanya mengandalkan usaha pemerintah saja.
“Ini menyadarkan kita bahwa SDGs didesain untuk multiplatform, bukan hanya untuk kerja bersama-sama tapi juga untuk membiayai bersama-sama,” tegasnya.
Tidak hanya pembiayaan investasi yang meningkat, Bambang mengatakan porsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan non-pemerintah juga berubah meskipun peran pemerintah akan tetap mendominasi.
Pada periode 2020-2024 porsi peran swasta untuk pendanaan yaitu 38 persen dan pemerintah 62 persen, sedangkan untuk periode 2025-2030 proporsi investasi pemerintah sebesar 57,7 persen dan non-pemerintah sebanyak 42,3 persen.
"Pemerintah tetap yang terdepan, tetapi pemerintah bisa mengajak aktor lain untuk bisa bekerja sama untuk membiayai,” katanya.
Investasi dari sektor swasta akan diambil dari pembiayaan campuran atau blended financing dengan memanfaatkan sumber pembiayaan yang datang dari BUMN, filantropi, dana keagamaan, crowdfunding, dana corporate social responsibility, KPBU, dan sumber lainnya.
“Semua sumber pembiayaan yang selama ini berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan masing-masing nanti dialirkan dengan satu tujuan yang akan disalurkan oleh SDGS financing Hub,” ujarnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019