• Beranda
  • Berita
  • Dipakai ponsel hingga mobil, penemu baterai lithium-ion sabet Nobel

Dipakai ponsel hingga mobil, penemu baterai lithium-ion sabet Nobel

10 Oktober 2019 07:48 WIB
Dipakai ponsel hingga mobil, penemu baterai lithium-ion sabet Nobel
Asahi Kasei mewakili Akira Yoshino sebagai pemenang Nobel Chemistry 2019. (REUTERS/ISSEI KATO)
Revolusi teknologi penyimpanan daya pada baterai lithium-ion yang sangat berguna untuk kehidupan modern mengantarkan tiga penemunya John Goodenough, Stanley Whittingham, dan Akira Yoshino kepada hadiah Nobel Chemistry 2019.

"Mereka menciptakan dunia yang dapat 'diisi ulang'," demikian pengumuman Royal Swedish Academy Sciences, Stockholm, dilansir AFP, Rabu (9/10).

Ketiga penemu baterai lithium-ion itu mengubah dunia hanya kurang dari tiga dekade.

Masyarakat modern tidak dapat terlepas dari penggunaan baterai lithium-ion, mulai dari gadget, perangkat perkantoran, kedokteran dan rumah tangga, hingga kendaraan listrik.

"Lebih dari dua pertiga populasi dunia memiliki gadget baik itu smartphone, laptop atau tablet. Dan, hampir semuanya ditenagai oleh baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang. Mereka bekerja dalam diam di era ponsel," ujar Paul Coxon, perwakilan Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Metalurgi Universitas Cambridge kepada AFP.

Baca juga: Inka kembangkan trem bertenaga baterai

Baterai lithium-ion bentuknya kecil, tapi berpengaruh pada mobilitas manusia. Baterai itu membuat jutaan orang di negara-negara berkembang dapat mengakses informasi dan layanan daring hanya lewat ketukan ponsel.

Di sektor otomotif yang sedang berkembang, lithium-ion menjadi solusi untuk keluar dari ketergantungan pada bahan bakar minyak melalui program mobil listrik yang diterapkan di banyak negara.

"Penerapan sains yang praktis untuk kepentingan kemanusiaan, sains yang begitu mendasar untuk digunakan langsung oleh tangan Anda," kata Coxon. "Saya benar-benar sedang memegang ponsel sekarang."
 
John B. Goodenough pemenang Nobel Chemistry 2019 (REUTERS/PETER NICHOLLS)


Perubahan penting

Perubahan penting pada baterai lithium-ion adalah daya yang dapat diisi ulang dan berbeda dengan baterai model timbal yang dikembangkan pada pertengahan abad ke-19. Lithium-ion lebih kecil, lebih ringan, lebih tahan lama, dan lebih kuat.

Baterai mobil listrik "tidak berbobot dua ton tetapi 300 kilogram," kata Sara Snogerup Linse, profesor kimia fisik dan anggota Komite Nobel untuk Kimia.

Sistem kerja baterai lithium-ion adalah ion yang terisi listrik bergerak dalam baterai di antara dua elektroda, anoda dan katoda.

Baca juga: Kembangkan mobil listrik, 1 Januari 2020 tidak ada lagi ekspor nikel

Reaksi kimia yang terjadi pada masing-masing elektroda menciptakan penumpukan elektron pada salah satu ujungnya. Elektron itu berusaha menyeimbangkan diri sehingga bergerak melalui rangkaian di dalam baterai kemudian mengeluarkan energi listrik.

Elektroda positif terbuat dari komposit lithium, atau logam paling ringan yang ditemukan manusia dan menjadi kunci keberhasilan itu, menurut Olof Ramstroem, seorang anggota komite Nobel.

"Lithium memiliki sifat yang sangat menarik dan itu berarti Anda bisa mendapatkan baterai yang sangat ringan, kecil, dengan daya dan efisiensi tinggi," kata Ramstroem seusai pengumuman Nobel di Stockholm.

"Lithium sangat reaktif... Tapi itu yang kita butuhkan. Kita membutuhkan elektron dari lithium. Itu semua tentang bagaimana menjinakkannya dan memasukkannya ke dalam paket baterai kecil yang benar-benar berguna bagi manusia," katanya.

Baca juga: Kemenperin identifikasi teknologi daur ulang baterai lewat paten
 
Stanley Whittingham pemenang Nobel Chemistry 2019 (REUTERS/ANDREAS GEBERT)


Tantangan

Para ilmuwan dan insinyur di seluruh dunia saat ini bekerja keras untuk mendesain baterai lithium-ion berukuran lebih kecil, lebih tahan lama, tapi dapat diisi daya dengan begitu cepat, terutama untuk penggunaan mobil.

Baterai lithium-ion punya masalah dengan suhu. Beberapa kasus yang terjadi adalah baterai itu dapat meledak, sedangkan biaya produksinya masih cukup mahal karena tingginya harga nikel dan kobalt.

"Ada kimia baru yang datang, memungkinkan kami membuat baterai lebih kecil," kata Maeva Philippot, peneliti kelistrikan dari Universitas Brussels.

Baca juga: Kemristekdikti dorong penguasaan teknologi baterai lithium

Tantangan lainnya adalah baterai jenis itu harus bisa didaur ulang karena sejalan dengan semangat pengembangan mobil listrik untuk mengurangi polusi udara.

"Eropa membuat arahan baru untuk baterai yang habis masa pakainya, dan bagaimana baterai dapat didaur ulang dan digunakan kembali untuk perangkat lain," kata Philippot.

"Misalnya, baterai kendaraan listrik dapat digunakan di rumah untuk menyimpan energi dengan diisi panel surya. Ada banyak proyek yang melihat potensi 'kehidupan kedua' atau daur ulang baterai," ujarnya.

Baca juga: Sulsel miliki peluang bangun pabrik baterai litium

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019