• Beranda
  • Berita
  • "Siak Hijau", sumbangsih Indonesia kurangi perubahan iklim dunia

"Siak Hijau", sumbangsih Indonesia kurangi perubahan iklim dunia

11 Oktober 2019 11:22 WIB
"Siak Hijau", sumbangsih Indonesia kurangi perubahan iklim dunia
Taman Nasional Zamrud di Kabupaten SIak, Provinsi Riau seluas 31.480 hektare merupakan habitat hutan rawa gambut terbesar di dunia dan menjadi program "Siak Hijau" Pemkab Siak. Di kawasan ini terbagi atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, dan zona khusus. (ANTARA/Andi Jauhari/HO-Explore Siak)

Bila memberikan manfaat ekonomi, otomatis masyarakat akan tetap menjaga lahan.

"Mencegah jauh lebih baik ketimbang mengatasi". Pernyataan itu, sering kita dengar berkaitan dengan persoalan kesehatan, khususnya pada hal yang berhubungan dengan penyakit.

Acapkali, saran, nasihat dan anjuran itu bisa didengar tatkala seseorang yang menderita suatu penyakit datang dan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, apakah dokter maupun paramedis lainnya. Makna anjurannya, mencegah penyakit jauh lebih baik dibandingkan mengobati atau mengatasi penyakit itu.

Namun, pernyataan seperti itu tidak hanya dimonopoli dalam sektor kesehatan. Di bidang lingkungan hidup pun, hal itu juga kontekstual.

Adalah Bupati Siak, Provinsi Riau Alfedri, yang mencuatkan "Mencegah jauh lebih baik ketimbang mengatasi" dalam kaitan mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) agar tidak terus terjadi di daerah itu.

Pada pemaparannya saat menjadi pembicara pada kegiatan bertajuk "Sebuah Masa Depan Positif Bagi Hutan: Merangkai Gotong Royong untuk Siak Hijau" pada rangkaian Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) 2019 dalam rangkaian Festival Kabupaten Lestari (FKL) II di Gedung Daerah Sultan Syarif Kasim, Kabupaten Siak, Kamis (10/10) 2019, ia menceritakan perjalanan bagaimana Siak akhirnya harus berkomitmen untuk tidak harus terus-menerus dilanda bencana karhutla, terlebih daerah itu adalah kawasan lahan gambut yang sangat rentan terbakar.
 
Bupati Siak, Provinsi Riau H Alfedri saat paparan bertema "Sebuah Masa Depan Positif Bagi Hutan: Merangkai Gotong Royong untuk Siak Hijau" pada rangkaian Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) 2019 dalam rangkaian Festival Kabupaten Lestari (FKL) II di Gedung Daerah Siak, Kamis (10/10/2019). (ANTARA/HO/Humas FKTL).


Pada Selasa (8/10), dalam diskusi dengan media massa -- yang juga dihadiri Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead -- Bupati Siak mengangkat persoalan karhutla yang masih terus terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2019 luas kawasan hutan dan lahan yang terbakar di seluruh Indonesia mencapai 328.724 hektare (ha).

Pada 2019 ini, kawasan terparah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah Provinsi Riau, di mana menurut angka sementara BPBD Riau area terbakar mencapai 50.730 hektare, dengan jumlah titik panas (hotspot) mencapai sekitar 8.168 titik, dengan 72 persen di antaranya terjadi di areal lahan gambut.

Kabupaten Siak, seperti halnya beberapa kawasan lain di Provinsi Riau juga mengalami peristiwa karhutla. Jumlah titik panas di Kabupaten Siak pada 2019 ini mencapai 493 titik.

Dari segi jumlah hotspot, Kabupaten Siak merupakan salah satu yang terendah di Provinsi Riau, yaitu hanya sekitar 6 persen.

Siak, adalah kabupaten dengan lahan gambut terbesar di Pulau Sumatera. Lebih dari separuh atau 57 persen luas kawasan Kabupaten Siak berupa lahan gambut, yaitu mencapai area seluas 479.485 ha. Dari total seluruh kawasan gambut tersebut, 21 persen di antaranya adalah lahan gambut dalam, dengan kedalaman 3-12 meter.

Bupati Siak Alfedri mengungkapkan rendahnya persentase titik panas adalah hasil dari upaya pencegahan karhutla Kabupaten Siak yang diupayakan dari tahun ke tahun.

Kabupaten Siak telah mendorong upaya pemanfaatan lahan agar lahan terjaga. Upaya-upaya tersebut tidak hanya berupa kerja pemerintah daerah, namun juga melibatkan masyarakat, mitra pembangunan dan pemerintah kabupaten, organisasi masyarakat sipil atau CSO (Civil Society Organization), juga pihak swasta yang dipayungi oleh Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22/2018 mengenai "Inisiatif Siak Hijau".

Baca juga: BRG segera tambah infrastruktur pembasahan gambut di Riau


Pedoman bersama

Peraturan "Siak Hijau" itu, kemudian menjadi pedoman bagi pemerintah daerah Siak, masyarakat, juga pihak swasta dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan, demi kesejahteraan masyarakat Siak.

Setelah peristiwa karhutla yang masif di tahun 2015, Kabupaten Siak mulai berbenah melakukan tahapan pembuatan peta jalan Kabupaten Siak Hijau pada tahun 2016. Bekerja sama dengan CSO yang tergabung dalam "Saudagho Siak" (Saudara Siak) -- sebuah organisasi yang banyak diisi kaum muda -- menganalisis apa saja penyebab terjadinya karhutla, serta meninjau dan mengembangkan peraturan-peraturan daerah untuk mencegah dan mengatasi karhutla.

Di tahun 2017, Kabupaten Siak menggandeng pihak swasta dan pengusaha kecil untuk menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) untuk pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan.

Peraturan Siak Hijau menjadi komitmen di Kabupaten Siak untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta upaya penting  mencegah dan melakukan penanganan karhutla, katanya.

"Termasuk di dalamnya, kami sudah tidak mengizinkan penebangan kayu alam, dan tidak lagi memberikan pembukaan konsesi lahan perkebunan sawit," tambahnya.

Saat ini, pihaknya sedang mengembangkan lahan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), intensifikasi komoditas pertanian di lahan gambut seperti sagu, kayu mahang dan juga aren.

Mengembangkan daerah TORA,  sebagai salah satu upaya mencegah terjadinya kebakaran terutama di lahan gambut juga ditegaskan Kepala BRG Nazir Foead.

"Selain upaya untuk terus menjaga ketinggian muka air, kunci pencegahan kebakaran lahan gambut adalah memastikan lahan-lahan TORA itu tetap produktif," katanya.

"Karena bila memberikan manfaat ekonomi, otomatis masyarakat akan tetap menjaga lahan dan memahami pentingnya pertanian dan perkebunan di lahan gambut tanpa mengeringkan lahan gambut," tambahnya.

Menurut Susanto Kurniawan dari Saudagho Siak, koalisi mitra pembangunan Kabupaten Siak, upaya pencegahan karhutla di daerah itu dapat didukung berbagai  pihak karena adanya peraturan yang menjadi pedoman.

"Perbup tahun 2018 adalah acuan bersama bagi siapa pun dalam pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Siak," katanya.

Banyak langkah yang dilakukan untuk mendukung inisiatif Siak Hijau, seperti mendorong kabupaten untuk melakukan tata kelola hutan dan lahan gambut, mendorong perhutanan sosial, dan membangun demplot-demplot tanaman yang ramah gambut.

Selain itu didorong juga pengembangan ekowisata. Harapannya kegiatan-kegiatan ekonomi dapat mendukung pencegahan karhutla langsung oleh masyarakat.

Dari sisi pemerintah nasional, menurut Joko Tri dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, upaya pencegahan karhutla di Kabupaten Siak memiliki peluang untuk memanfaatkan Dana Reboisasi yang saat ini terbuka untuk mendukung pencegahan karhutla.

"Pelaksanaan peta jalan Kabupaten Siak untuk agroforestry untuk menambah nilai ekonomi bagi masyarakat misalnya, dapat menggunakan sumber dana tersebut," katanya.

Inisiatif Siak Hijau ini juga didukung   oleh beberapa perusahaan swasta yang tergabung dalam Konsorsium Pakar Sumber Daya (Consortium of Resource Experts/CORE) -- sebuah aliansi sektor swasta -- di antaranya Unilever, Musim Mas, Cargil, Unilever, Pepsico, Neste dan Danone.

Dukungan dari perusahaan-perusahaan ini ditunjukkan melalui komitmen mereka dalam pelaksanaan kebijakan NDPE, yakni Tanpa Deforestasi (No Deforestation), No Peat (Tanpa Pembukaan Lahan Gambut) dan No Exploitation (Tanpa Eksploitasi) yang lebih efektif, khususnya pada empat topik utama: deforestasi, restorasi gambut, dukungan pada pekebun dan HAM.

Baca juga: Kebakaran lahan gambut meluas di pesisir Riau


Festival Kabupaten Lestari

Kabupaten Siak adalah salah satu anggota dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), yang tahun ini menjadi tuan rumah dari Festival Kabupaten Lestari (FKL), yang berlangsung pada 10-13 Oktober 2019.

LTKL memiliki 11 kabupaten anggota di delapan provinsi Indonesia, yakni Kabupaten Musi Banyuasin (Sumsel), Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Sintang (Kalbar), Kabupaten Sigi (Sulteng), Kabupaten Bone Bolango (Provinsi Gorontalo), Kabupaten Gorontalo (Provinsi Gorontalo), dan Kabupaten Aceh Tamiang (Provinsi Aceh), 14 jejaring mitra dan bekerja berdampingan dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi).

Festival mempertemukan peserta dengan inovasi lestari tepat sasaran yang bisa menjawab tantangan kabupaten dalam implementasi visi lestari, khususnya seputar restorasi dan konservasi, intensifikasi pengolahan lahan, serta penanggulangan bencana terkait pengelolaan lahan.

Dalam FKL 2019 peserta akan diajak eksplorasi "Siak Hijau" melalui perjalanan lapangan yang edukatif ke Taman Nasional Zamrud dan juga lokasi agrowisata Bunga Raya.

Perjalanan ini akan membawa peserta mengenal lebh dekat Kabupaten Siak melalui #WisataLestari, yakni melihat secara langsung bagaimana implementasi dari Perbup 22/2018.

FKL merupakan acara perayaan bersama serta ajang promosi bagi kabupaten anggota LTKL serta mitra pembangunan atas perkembangan atau kemajuan dalam mengimplementasi visi kabupaten lestari.

Festival juga menjadi sarana untuk membuka dan mempererat komunikasi serta gotong-royong antarsesama anggota dan mitra LTKL, serta pihak lain yang terlibat dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

Melalui Visi Siak Hijau dan pelaksanaan FKL harapan Bupati Siak H Alferdi ke depan adalah bersama-sama melakukan kolaborasi yang lebih besar agar bisa melakukan lebih banyak upaya lagi guna melakukan pencegahan karhutla, dan melaksanakan pengelolaan lahan yang berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat.


Baca juga: BRG sulap ladang api Rupat jadi sumber ekonomi

 

Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019