Adhie, di Jakarta, Sabtu, menjelaskan, UU KPK hasil revisi merupakan produk yang dibuat atas inisiatif eksekutif dan legislatif.
Baca juga: KPK sebut setengah peraturan internal akan berubah terkait revisi UU
Baca juga: KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi UU KPK
Baca juga: Demo tolak RKUHP dan revisi UU KPK di Jember belanjut
Baca juga: Semester I 2019 KPK selamatkan keuangan daerah Rp28,7 triliun
"Ini barang ini sudah jadi, ini saya kronologinya ya. Presiden Jokowi tempo hari mengirim surat persetujuannya untuk revisi UU KPK itu, terus ini sudah jadi," papar Adhie.
Karena produk undang-undang tersebut sudah jadi dan sudah disahkan DPR, menurut aktivis pergerakan dan pegiat demokrasi itu, maka sebagai negara demokrasi haruslah menaati apa yang sudah diputuskan bersama.
"Jadi kalau ada persoalan setelah itu, berarti ada sesuatu yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Nah kepada UU KPK yang sudah direvisi ini ada nggak prinsip-prinsip demokrasi yang dilanggar sehingga menimbulkan masalah. Kalau tidak ada, maka ini harus dilanjutkan," tegasnya.
Baca juga: Pilih jalur konstitusi, BEM Jakarta tolak Perppu KPK
Baca juga: Penggiat antikorupsi akan solid bersama mahasiswa jika akan turun lagi
Baca juga: Praktisi sebut tiga syarat kegentingan dikeluarkannya Perppu KPK
Karena, lanjut dia, Perppu yang menerabas proses UU yang sudah jadi ini akan menjadi preseden buruk untuk perkembangan demokrasi ke depan.
Mantan jubir presiden Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid ini menambahkan, hadirnya Perppu juga tidak serta-merta menganulir UU KPK revisi.
"Nah karena kalau Perppu kemudian membekukan, menganulir UU yang sudah jadi pada prosesnya sudah sesuai dengan UU, artinya sudah sesuai persetujuan eksekutif dan legislatif, ini bagi demokrasi buruk," tutur Adhie.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019