Xinjiang, jantung Jalur Sutera nan Rupawan

13 Oktober 2019 14:41 WIB
Xinjiang, jantung Jalur Sutera nan Rupawan
Wisatawan domestik menawar beraneka ragam topi musim dingin khas suku Uighur yang terbuat dari kulit kambing di lapak penjual objek wisata kota lama Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, China. (ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie)
Bila ditinjau secara geografis, Daerah Otonomi Xinjiang menempati wilayah paling barat daratan China.

Posisinya yang jauh dari pantai terkesan terjepit. Di sebelah timurlaut berbatasan dengan Mongolia, di utara dengan Rusia, di barat laut ada Kazakhstan dan Kirgizstan. Lalu di barat ada Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan.

Selebihnya Xinjiang berbatasan atau daerah otonomi setingkat provinsi di China, seperti Tibet di selatan, dan Gansu serta Qinghai di tenggara.

Kontur tanahnya sebagian besar berbukit. Namun tidak sedikit pula yang bergurun seperti di perbatasan Mongolia.

Luas wilayahnya yang mencapai 1,66 juta menjadikan Xinjiang terluas di China dengan penduduk terbanyak dihuni oleh suku minoritas Uighur yang membentuk formasi 45,84 persen.

Suku Han sebagai etnis mayoritas di China juga mendiami wilayah itu sekitar 40,48 persen. Kemudian ada suku Kazakh (6,5 persen), Hui (4,51 persen), dan suku lainnya (2,67 persen).

Bahasa Uighur yang aksaranya mirip dengan huruf Arab pego di Jawa merupakan dialek utama masyarakat Xinjiang.

Oleh karena posisinya yang unik, Xinjiang pantas mendapatkan predikat sebagai jantungnya Jalur Sutera, baik di masa lalu maupun era modern kini.

Masyarakat Xinjiang hanya mendengarkan gemerincing lonceng pada gerobak unta sebagai pertanda datangnya barang dagangan atau musafir.

Tapi itu dulu. Sekarang kereta api dan pesawat sudah banyak yang menyinggahi daerah otonomi yang beribu kota di Urumqi itu.

"Saat saya masih belajar di Renmin University Beijing pada 1992-1998, saya hanya tahu Xinjiang daerah terpencil dan tidak berkembang. Sekarang Urumqi telah membalikkan pikiran saya, tidak beda jauh dengan kota-kota besar di China," kata perwakilan tetap Guinea di Kantor PBB di Jenewa, Lazaro Ekua Avomo, dikutip media resmi China pada September lalu.

Jadi, tidak terbantahkan lagi kalau jalur utama perdagangan China menuju Asia Tengah dan Asia Timur itu sumbunya ada di Xinjiang.

Dinamika

Dalam perkembangannya, Xinjiang penuh dengan dinamika. Isu-isu kemanusiaan dan keagamaan turut mewarnai daerah otonomi yang memiliki segudang potensi perekonomian nasional China itu.

Sejumlah utusan, baik yang mewakili pemerintah maupun nonpemerintahan, dari berbagai negara berkesempatan mengunjungi daerah itu, utamanya setelah mendapatkan sorotan mengenai adanya pelanggaran HAM atas dibangunnya kamp-kamp kosentrasi massa.

Beijing menampik tuduhan itu karena yang dilakukan sebenarnya adalah pola pembinaan kepada beberapa kelompok masyarakat yang sebenarnya memiliki potensi untuk diberdayakakan sebagai pelaku atau penggerak ekonomi di Xinjiang.

Kelompok masyarakat tersebut dibina dalam lembaga vokasi yang dibangun di beberapa daerah di Xinjiang. Mereka tidak hanya belajar tentang undang-undang dasar dan bahasa nasional, melainkan juga dibekali ilmu keterampilan, seperti menjahit, tata boga, "hospitality", dan merakit perangkat elektronik.

Oleh karena lembaga tersebut pemerintah yang memfasiilitasi, tentu saja para peserta pelatihan tidak dikenai biaya. Bahkan, penginapan dan makan pun gratis.

Itulah cara pemerintah China dalam memberdayakan masyarakat Xinjiang. Apalagi daerah itu pernah mengalami serangkaian peristiwa terorisme dan radikalisme selama hampir 23 tahun sejak 1992.

"Beberapa negara mengkritik kebijakan China dalam memerangi terorisme di Xinjiang. Mari kita tanya, apakah yang dilakukan Amerika ketika ratusan warganya tewas akibat serangan teroris?" ujar Direktur Institute for Contemporary History (ICH) Serbia Predrag Markovic.

"Apa yang saya dengar dari media Barat dan apa yang saya lihat kenyataan yang terjadi di sini merupakan dua hal yang sangat berbeda," timpal Direktur Indo-Lanka Initiatives of the Pathfinder Foundation, Jayanath Siri Kumara Colombage, di Xinjiang awal September lalu.

Pertumbuhan ekonomi di Xinjiang pun sudah bisa dirasakan oleh masyarakat setempat, terutama sektor pariwisata.

Pada semester pertama tahun ini saja, Xinjiang sudah menerima 75,6 juta wisatawan. Naiknya tidak tanggung-tanggung, 46 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir di Beijing pada Agustus lalu menyebutkan bahwa pada tahun lalu Xinjiang kedatangan 150 juta wisatawan, naik 40,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

"Tahun ini, kami bisa mendapatkan 200 juta wisatawan," kata Wakil Gubernur Xinjiang Erkin Tuniyaz percaya diri.

Situasi Xinjiang jauh dari gambaran konflik. Sekolah-sekolah agama tetap ramai oleh para pelajar yang melafalkan Alquran dan Hadis.

Demikian halnya dengan pusat keramaian, seperti Grand Bazaar di jantung Kota Urumqi yang tidak pernah sepi dari pengunjung dan wisatawan "gila belanja" karena di tempat itu tersedia berbagai jenis makanan khas tradisional dan kerajinan tangan, mulai dari pakaian hingga alat musik.

Xinjiang juga semarak oleh ingar-bingar seni dan budaya tradisional yang dibawakan para penari cantik nan rupawan khas suku Uighur.

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019