Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memperingatkan bahwa keamanan yang belum kondusif di Negara Bagian Rakhine , Myanmar, masih menjadi tantangan utama repatriasi warga Rohingya dari kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh.
“Kita terus bicara kepada Myanmar bahwa tugas mereka adalah menciptakan situasi keamanan yang baik. Karena kalau masih banyak konflik di lapangan, pasti para pengungsi tidak akan mau (kembali),” kata Retno dalam sesi wawancara khusus dengan ANTARA di kantor Kemlu, Jakarta, Senin.
Selain isu keamanan, ia mengingatkan, pemenuhan hak-hak warga Rohingya seperti hak hidup dan hak ekonomi juga perlu dijamin demi kelancaran proses repatriasi.
“Di tempat asal mereka harus diciptakan situasi yang kondusif agar mereka bisa kembali ke rumah mereka secara sukarela, aman, dan bermartabat,” tutur Retno.
Menteri luar negeri perempuan pertama Indonesia itu mengakui bahwa penyelesaian isu Rohingya tidak mudah karena berhadapan dengan kepentingan Myanmar sebagai negara berdaulat.
“Jadi memang tidak mudah untuk bicara dengan pemerintah yang berdaulat seperti Myanmar, kita harus bicara secara detail tanpa mengusik kedaulatan mereka. Tetapi pada saat yang sama, sikap kita harus tegas karena ini menyangkut kemanusiaan,” kata Retno.
Sebelumnya dalam pertemuan yang membahas situasi terkini Rakhine di sela-sela Sidang ke-74 Majelis Umum PBB di New York, September lalu, Menlu Retno menyeru masyarakat internasional untuk mengambil langkah darurat guna menyelesaikan krisis kemanusiaan di wilayah Rakhine.
Baca juga: Menlu Retno : Hentikan krisis kemanusiaan di Rakhine State
Baca juga: Menlu Retno bertemu utusan PBB bahas repatriasi Rohingya
Menurut Retno, isu utama yang paling mengganjal dalam penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine adalah ketidakpercayaan di semua tingkatan, dari lapisan masyarakat di pengungsian hingga masyarakat internasional.
Situasi kemanusiaan di Rakhine dilaporkan semakin memprihatinkan, khususnya setelah upaya repatriasi para pengungsi dari perbatasan Myanmar-Bangladesh pada Agustus lalu gagal.
Penyelidik independen PBB untuk Myanmar Yanghee Lee menyatakan bahwa situasi tidak aman bagi ratusan ribu Muslim Rohingya untuk dipulangkan ke Myanmar dari Bangladesh, karena Myanmar gagal membongkar “sistem penganiayaan” terhadap warga Rohingya.
Dalam laporan yang disampaikan pada Sidang Umum, awal Oktober lalu, Lee mengatakan bahwa kondisi kehidupan suku Rohingnya yang masih tertinggal di Rakhine “tetap mengerikan”.
Baca juga: Bangladesh upayakan pertanggungjawaban dalam kasus Rohingya
Warga Rohingya dilaporkan tidak dapat meninggalkan desa mereka untuk mencari nafkah. Karena itu, mereka terpaksa bergantung pada bantuan kemanusiaan, yang aksesnya “telah sangat berkurang sehingga memengaruhi kebutuhan dasar mereka”.
“Sementara situasi ini berlanjut, tidaklah aman atau berkelanjutan bagi para pengungsi untuk kembali,” ujar pelapor khusus PBB yang ditunjuk oleh Dewan HAM, yang berbasis di Jenewa itu.
Lebih dari 700 ribu warga Rohingya pergi menyelamatkan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh setelah militer Myanmar memulai gerakan kontrapemberontakan yang keras terhadap mereka pada Agustus 2017, sebagai tanggapan terhadap serangan pemberontak.
Gerakan, yang telah disebut pembersihan etnis, itu mencakup pemerkosaan massal, pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah warga Rohingya.
Lee mengatakan ada hampir 913 ribu pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, dekat perbatasan Myanmar, termasuk ribuan yang melarikan diri sebelum 2017 dan sekitar 1.100 yang tiba antara Januari dan Juli.
Baca juga: Pengungsi Rohingya pilih mati daripada hidup tanpa hak di Myanmar
Baca juga: Myanmar sebut seruan PBB bahayakan negara
PBB harapkan peran Indonesia untuk Rohingya
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2019