• Beranda
  • Berita
  • Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer

Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer

16 Oktober 2019 19:24 WIB
Histori rock Indonesia, rivalitas musik dan Aktuil sebagai barometer
Musisi senior rock Indonesia Benny Soebardja beraksi dalam" Djakarta Artmosphere 2012" di Balai Sarbini , Jakarta, Sabtu (10/11) malam. (ANTARA/Pey Hardi Subiantoro)
Aktuil yang muncul perdana pada 1967 itu menjadi sumber referensi dalam menikmat musik. Media cetak itu kerap menyajikan informasi-informasi aktual dari perkembangan musik rock barat.

Tak hanya itu, ulasan-ulasan musik yang dilontarkannya dinilai mendalam sehingga dapat membentuk opini pembaca untuk memilih musik-musik mana yang wajib didengarkan kala itu.

"Aktuil menjadi barometer saat itu, Aktuil juga mendorong orang untuk berpikir kritis. Selain itu banyak juga yang membeli Aktuil untuk mendapatkan poster-poster bintang Rock, seperti Mick Jegger, David Bowie yang ukuruannya bisa sebesar pintu. Di dalamnya juga ada chord lagu dan hadiah gambar setrika," kata Akademisi Seni Musik Universitas Pasundan, Djaelani, yang mengaku saat itu tak bayar uang sekolah demi membeli majalah Aktuil.

Salah satu opini yang fenomenal masa itu adalah rivalitas antara musik rock dan dangdut, Aktuil juga menjadi dalang untuk "memanasi" perseteruan dua genre yang sebenarnya punya segmen pendengar berbeda.

Baca juga: Resep nge-band awet ala Ahmad Albar dan Eet Sjahranie

Baca juga: Cerita Dara Puspita siasati musik "Ngak Ngik Ngok" ala Barat


Dalam "Rock n Roll Industri Musik Indonesia" karya Theodore KS, perseteruan dangdut dan rock terjadi ketika Rhoma Irama memasukkan unsur rock ke dalam lagu-lagunya seperti yang ada di album "Begadang."

Komunitas pecinta dangdut banyak yang keberatan musik mereka dicampurkan dengan rock, sementara komunitas rock menanggapinya dengan sinis. Hingga akhirnya diadakan diskusi "Sekitar Musik Hard Rock dan Dangdut" di Gendung Merdeka Bandung pada Juni 1976 oleh Maman S dari Aktuil.

Kala itu hadir Dr Sujoko dari ITB, kritikus musik Remy Silado, vokalis dan gitaris Giant Step Benny Soebardja dan Denny Sabri sebagai wakil Rhoma Irama yang tak hadir.

Di dalam diskusi itu, Benny Soebardja mengolok-olok musik dangdut dengan menyebutnya "tahi anjing" dan "bistik jangan dibandingkan gado-gado". Hal itu menyebabkan adanya penilai musik rock dianggap musik kelas atas dan musik dangdut adalah musik kasta bawah.
 
Mick Jagger tampil bersama the Rolling Stones di Arena O2, London, Minggu (25/11). (REUTERS/Toby Melville)


Rivalitas juga muncul antarband rock itu sendiri. Aktuil sering menampilkan konser band rock dengan konsep menyerupai pertandingan tinju misalnya God Bless vs AKA.

"Rivalitas itu diciptakan juga. Iklannya memang dibuat kayak berantem, dua band diadu dan itu menjadi daya tarik masyarakat. Mereka datang karena itu," kata Djae.

Di dalam konser tersebut, kata Djae, maka terlihat siapa fans-fans fanatik dari band kesayangannya. Padahal hubungan para band-band tersebut sebenarnya baik-baik saja. Aksi panggung masing-masing band juga menjadi daya tarik dari penonton.

Pada era itu juga ada aksi-aksi panggung seperti minum darah kelinci dan lain sebagainya yang juga ditonjolkan dalam iklan konser musik rock.

"Misalnya nih, AKA sama Rawa Rontek. AKA digembar-gemborkan mau memakan kelelawar. Nah si Rawa Rontek dikabarkan akan menusuk lehernya, sehingga si Bachtiar (vokalis Rawa Rontek) belajar debus untuk melakukan aksi tersebut. Jadi rivalitasnya enggak sebatas musik saja tetapi juga sampai ke aksi panggung," kata Djae.

Baca juga: Histori rock Indonesia, Orde Baru buka keran budaya barat

Baca juga: "Rumah Kita" God Bless bareng Forkopimda tutup pesta rakyat Jatim


Kontradiksi Panggung-Rekaman

Meski band-band rock pada era 1970-an menjelma gahar di panggung, namun belum tentu terjadi di dapur rekaman.

Pengarsip musik dari Irama Nusantara David Tarigan menjelaskan band-band rock tersebut juga dipaksa para cukong label rekaman untuk mebuat lagu-lagu yang laku di pasaran.

"Di era 1970-an di rekaman sama, di panggung bisa beda, di dalam satu album mereka misalnya ada 12 lagu, paling mereka diberi kebebasan membuat lagu hanya dua. Sisanya musik-musik yang laku di pasaran," jelas David.

Salah satu jenis musik yang laku di pasaran adalah musik-musik yang mendayu-dayu. David mengatakan "cetak biru" dari musik mendayu-dayu tersebut dibentuk oleh Koes Plus sekitar tahun 1969.

Koes Plus sedang terinspirasi oleh Bee Gees, tampil di Monas dengan membawa lagu "Manis dan Sayang". Penampilan itu mendapat perhatian band-band yang juga akan tampil di acara tersebut. Koes Plus telah berhasil menyanyi lagu Indonesia dengan gaya mereka sendiri.
 
JHarry Pochang tampil bersama Harry Pochang Blues Libre di "Blues 4 Freedom", Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (29/7) malam. (ANTARA/Oxalis Atindriyaratri)


Misalnya saja AKA, vokalisnya Utjok Harahap kerap menampilkan sesuatu yang liar di panggung, misal kaki diikat ke atas dan kepalanya terjuntai ke bawah. Namun di dalam albumnya mereka harus mebawakan lagu "Badai Bulan Desember" yang mendayu-dayu.

Taufiq Rahman dalam bukunya "Lokasi Tidak Ditemukan" menyebut AKA yang merupakan kolektif rock n roll par excellence telah melakukan "bid'ah rock n roll" dengan merilis lagu-lagu non-rock seperti keroncong, dangdut dan pop melayu.

Harry Pochang merupakan bagian dari Gang of Harry Roesli juga mengakui bahwa rock yang garang namun di dalam albumnya belum tentu demikian. Hal itu karena industri musik rock baru dimulai dan produser meminta mereka untuk mengikuti musik yang lebih diminati oleh pasar.

"Tetap saja rock yang garang singlenya enggak begitu, tetapi kita enggak ikut-ikut begitu. Akhirnya kita mencari identitas, di album Titik Api kita gabungin musiknya dengan gamelan Sunda," kata dia yang menyebutkan ide untuk menggabungkan musik rock dengan gamelan sunda itu, menurut Pochang dibuat secara spontanitas saja.

Baca juga: Histori rock Indonesia, lahirnya musisi legenda

Baca juga: Histori rock Indonesia, fenomena musik dari pemancar gelap

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019