Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Raden Fatah Palembang, Dr Yenrizal Tarmidzi, Rabu, mengatakan, media massa berpotensi ditunggangi kepentingan politik karena dianggap efektif menggiring opini terhadap calon-calon kepala daerah.
"Framing adalah sebuah keniscayaan yang pasti dilakukan media massa dalam membuat berita, framing masih dapat diterima selama fakta dan datanya ada karena menyatu sebagai berita," ujar dia.
Namun fakta dan data kerap dibarengi framing yang sarat kepentingan politik, seperti ditujukan untuk pencitraan hingga digunakan sebagai alat kampanye hitam menyerang lawan kontestan kepala daerah lain.
Juga baca: Papua Barat siap laksanakan pilkada serentak 2020
Juga baca: Bawaslu Manggarai dan Malaka tolak tandatangani NPHD
Juga baca: Kemendagri-KPU RI diingatkan bersikap tegas soal keterlambatan NPHD
Framing positif, kata dia, merupakan upaya jurnalis atau media dalam menyajikan berita terkait pilkada sesuai bagian fungsi pers, yakni sebagai pendidikan dan kontrol sosial.
Sedangkan framing berimbang artinya media memberitakan semua calon kepala daerah secara adil dan tidak menutupi fakta serta data yang berkaitan dengan hak-hak publik seperti latar belakang atau rekam jejak calon kepala daerah.
"Penutupan fakta dan data itu berpotensi terjadi pada Pilkada 2020 di semua tahapannya, bisa untuk provokasi ataupun adu domba," tambahnya.
Menurut dia framing negatif dan tidak berimbang rentan dilakukan jurnalis yang tidak punya kompetensi dasar dalam membuat berita, kerap terjadi seiring lahirnya media-media baru saat Pilkada berlangsung, sehingga ia mengingatkan masyarakat agar cermat memilah informasi terkait berita politik.
"Yang penting masyarakat jangan langsung percaya judul berita, harus dilihat situs medianya kira-kira kredibel tidak, konten beritanya seperti apa, lalu lihat juga kotak redaksi media itu ada apa tidak," kata dia.
Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019