Cara Kapitalis Merampas Negara

6 Agustus 2008 14:59 WIB
Cara Kapitalis Merampas Negara
Oleh A. Jafar M. Sidik Jakarta (ANTARA News) - "Siapa pun yang ingin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di dunia, mesti segera membaca buku ini." Itulah komentar majalah Rolling Stone tentang buku "The Shock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism" karangan wartawati Kanada, Naomi Klein, yang diterbitkan Penguin Books, London, Inggris (2007). Buku setebal 558 halaman yang struktur kisahnya rapi dan dinilai koran "The Observer" sebagai buah dari riset mahasempurna ini menyingkap muslihat kaum kapitalis yang secara menyeramkan menggasak aset negara, tak peduli jutaan orang mati dan jatuh melarat karenanya. Para kapitalis ini mengarsiteki sekaligus mensponsori kudeta-kudeta berdarah di seluruh dunia, swastanisasi aset dan sistem pelayanan publik, krisis moneter, merger dan akuisisi perusahaan pasca krisis, liberalisasi perdagangan, invasi Irak, bahkan gerakan demokratisasi. Selain mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs), mereka mengotaki Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bahkan organisasi-organisasi bantuan internasional seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional AS (USAID). Mereka melekat pada lembaga-lembaga "think tank" terkenal seperti American Enterprise Institute, Heritage Foundation dan Cato Institute, sementara ruhnya bersemayam dalam sejumlah universitas Barat yang menjadi tempat berkuliah para teknokrat negara berkembang yang belajar karena biaya asing. Kaum kapitalis ini tak peduli sebuah rezim zalim atau tidak, demokratis atau tidak, korup atau tidak, yang penting menguntungkan mereka, persis pepatah mantan pemimpin RRC Deng Xiaoping, "Tak penting kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus." Kaum yang disebut Naomi neoliberal ini sangat anti kepemilikan publik dan berupaya membuat pemerintahan di banyak negara lumpuh sehingga merekalah yang sesungguhnya berkuasa atas negara dan sistem transaksi sosial, ekonomi dan politik antar-bangsa. "Saya ingin pemerintah dikerdilkan sampai saya bisa menyeretnya ke kamar mandi untuk kemudian membenamkannya dalam bak mandi," kata Grover Norquist, pelobi kepentingan bisnis MNCs terkenal di AS sekaligus pembela fanatik neoliberal. Untuk mengerdilkan pemerintah, mereka mempunyai modus, yaitu mengacaubalaukan negara dengan menciptakan situasi krisis sampai kesadaran nasional negara itu hilang, terutama berkaitan dengan konsep dasar pengelolaan ekonominya. Negara itu lalu dipaksa menelan resep ekonomi propasar dalam dosis tinggi nan beruntun, tak peduli rakyatnya bakal sengsara. Hal terpenting, negara itu menjadi amat tergantung pada modal asing(kapitalis) sehingga setiap saat bisa dieksploitasi oleh kaum kapitalis itu. Metode membuat syok nasional sehingga negara tak sadar telah dikuasai kapitalis ini disebut Naomi Klein sebagai "Shock Doctrine." Naomi menganalogikan terapi syok ekonomi ini dengan doktrin militer AS "kejutkan dan takutkan" (shock and awe) dan metode cuci otak ala dinas intelijen AS (CIA), "kubark counter intelligence interrogation." Lewat "kubark", CIA membunuh karakter manusia dengan teknik interogasi mengerikan sehingga memori manusia hilang untuk kemudian diganti karakter baru jadi-jadian, seperti dalam kisah trilogi "Bourne" yang dibintangi aktor Hollywood, Matt Damon. Dalam format berbeda, para ekonom neoliberal mengaplikasikan metode dekarakterisasi ala CIA ini ke tingkat negara dengan membuat negara berada dalam suasana krisis, sehingga gampang dipaksa untuk menelan resep kebijakan ekonomi prokapitalis yang formula dasarnya adalah liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan swastanisasi aset publik. Penggagas terapi syok itu adalah ekonom Universitas Chicago, Milton Friedman, seorang penentang intervensi negara dalam pengelolaan ekonomi yang dulu disarankan ekonom besar pasca-Perang Dunia I, John Maynard Keynes. Friedman percaya bahwa perekonomian harus diserahkan sepenuhnya pada pasar dan ia ingin dunia mempraktikannya tanpa kecuali. Terinspirasi sukses Mafia Berkeley di Indonesia akhir 1960-an dan junta militer Brazil pimpinan Castello Branco yang mengakhiri ekonomi kerakyatannya Presiden Joao Gullart pada 1964, Friedman membidik Chile sebagai kelinci percobaan pertamanya. Chile awal 1970-an diperintah Salvador Allende yang mengusung sistem ekonomi sosialis yang tak mengharamkan kepemilikan swasta, namun mengharuskan negara melindungi kepentingan publik. Ekonomi sosialis Chile berbeda dari komunisme, seperti diklaim AS, bahkan mirip azas demokrasi ekonominya Mohammad Hatta di Indonesia. Karena ingin menasionalisasi perusahaan asing, maka sosialisme Allende itu lalu dipandang korporasi-korporasi multinasional asal AS sebagai ancaman. Salah satu yang terancam, American Telephone & Telegraph (AT&T), mendesak pemerintah AS untuk mencungkil Allende dari kekuasaannya. Sebelum mendongkel Allende, AS mendidik mahasiswa-mahasiswa Chile di Universitas Chicago di bawah asuhan Milton Friedman dengan tujuan mengimbangi popularitas para ekonom sosialis pimpinan Pedro Vuskovic Bravo yang menjadi arsitek kebijakan ekonomi Allende. Untuk mengaburkan intervensi, pemerintah AS bersembunyi dibalik Ford Foundation, yang juga mensponsori para mahasiswa Indonesia berkuliah di Universitas California, Berkeley, pada 1956 hingga menjadi teknokrat Orde Baru. Para mahasiswa Chile yang dibiasakan mempelajari ekonomi neoliberal ini disiapkan sebagai teknokrat pasca Allende. Pada 1973, Allende akhirnya digulingkan oleh Jenderal Augusto Pinochet dukungan CIA. Selagi Pinochet menebarkan teror hingga rakyat Chile syok dalam ketakutan, para ekonom Friedmanis menyuntikkan resep propasar (prokapitalis) dalam dosis tinggi hingga Chile terperangkap utang dan kekuasaan asing. Paparan Chile ini adalah awal cerita horor pasar bebas yang menjadi isi utama buku yang disebut Dow Jones sebagai salah satu literatur ekonomi terbaik abad 21 ini. Horor berlangsung hingga era pemerintahan George Bush yang disebut sebagai puncak kebrutalan pasar bebas hingga dunia pun muak sampai-sampai Amerika Latin alergi dengan apa pun yang berbau Friedmanis seperti IMF. "Tuan-tuan, kami ini berdaulat. Kami ingin melunasi utang kami, tapi maaf-maaf saja jika kami harus membuat kesepakatan lagi dengan IMF," kata Presiden Argentina, Nestor Kirchner. Sambil membopong diktator dan rezim sokongannya, kaum kapitalis mensponsori para ekonom didikan kampus-kampus neoliberal untuk menyiapkan karpet merah bagi kapitalisme dengan menyusun kebijakan ekonomi reformis propasar, satu eufemisme dari kebijakan prokapitalis. Afrika Selatan pasca-Nelson Mandela, Rusia di bawah Boris Yeltsin, dan Polandia pasca-komunis adalah beberapa contoh. Negara-negara yang semula khidmat mendengarkan rekomendasi para ekonom reformis bimbingan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu kemudian sadar telah dibohongi para ekonom dan birokrat bimbingan Barat yang ternyata para calo swastanisasi negara. Para penyusun kebijakan reformasi ekonomi tersebut memang kerap berperan menjadi mulut korporasi asing, bahkan konsep kebijakan swastanisasi Bolivia semasa Presiden Gonzalo Sanchez de Lozada disusun para analis keuangan perusahaan asing, seperti Solomon Brothers dan ExxonMobil. Nelson Mandela adalah salah satu yang kecewa karena cita-cita memakmurkan warga kulit hitam, seperti dipesankan Piagam Perdamaian tak tercapai, justru karena orang dekatnya, Tabo Mbeki, menyusun kebijakan pro-kapitalis sehingga mayoritas rakyat Afsel terpinggirkan. Polandia juga menyesal mematuhi nasihat pialang George Soros dan ekonom Jeffrey Sachs, seorang Friedmanis dari Universitas Harvard, sehingga aset-aset strategis Polandia jatuh ke tangan asing, justru ketika Partai Solidaritas memerintah negeri itu. Demikian pula Rusia, yang kehilangan aset-aset strategisnya setelah ekonom reformis Yegor Gaidar, seorang Friedmanis di bawah bimbingan IMF, mempromosikan kebijakan propasar. Vladimir Putin kemudian mengoreksi kesalahan itu, dan mengakhiri hubungan mesra Rusia dengan IMF. Buku tersebut juga menyebut krisis moneter Asia 1997 sebagai hasil desain kaum kapitalis karena mereka ingin menguasai aset-aset strategis di kawasan itu, mencaplok aset-aset perusahaan nasional Asia yang tumbuh meraksasa, dan hendak menggulingkan rezim-rezim yang berubah kritis, seperti Soeharto di Indonesia. Menurut Naomi, di masa tuanya, Soeharto yang pro-Barat itu bosan diperah korporasi asing, sehingga ia "berkhianat" dengan membagikan aset nasional kepada kroninya yang berakibat korporasi asing itu berang, lalu merancang pembalasan dengan membesarkan skala krisis moneter Asia. Ketika Indonesia dan Asia akhirnya lunglai karena krisis moneter, IMF datang menawarkan obat dengan syarat liberalisasi pasar, sebuah formula klasik ala Friedman. Semua Asia menerima resep itu, hanya Malaysia yang menampik formula rente itu. Hanya dalam 20 bulan, perusahaan-perusahaan multinasional asing berhasil menguasai perekonomian Indonesia, Thailand, Korea Selatan, Filipina dan juga Malaysia lewat 186 merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan besar di negara-negara ini. "Ini adalah pengalihan aset dari domestik ke asing terbesar dalam limapuluh tahun terakhir," kata ekonom Robert Wade. Tak puas di situ, para kapitalis merancang serangan ke Irak setelah Presiden Saddam Hussein memberi keleluasaan pada Rusia menambang minyak di Irak. Perusahaan-perusahaan minyak seperti Shell, Halliburton, BP dan ExxonMobil lalu mengipasi pemerintah AS dan Inggris untuk mencaplok Irak. Namun, saat Irak sulit digenggam karena masalah terlalu kompleks, negeri itu disulap menjadi lahan bisnis keamanan sehingga para pedagang senjata, konsultan keamanan perusahaan di wilayah krisis, tentara bayaran dan para spesialis teknologi keamanan mendadak bergelimang uang. Kemudian, saat kaum kapitalis itu membutuhkan relaksasi setelah penat berburu laba, maka sejumlah lokasi dibidik menjadi situs wisata eksotis, diantaranya Srilangka. Namun, para nelayan miskin yang mendiami pantai-pantai indah Srilangka tak mau hengkang sampai tsunami menghantam Asia bagian Selatan pada 2004. Bertopengkan bantuan rekonstruksi pascabencana dan bergerak dalam kerudung USAID, para kapitalis menyandera pemerintah Srilangka, agar "menukarkan" pantai indah Srilangka dengan bantuan tsunami. Situasi serupa berlaku di Thailand dan New Orleans pasca-badai Katrina. Intinya, kaum kapitalis telah membisniskan perang, teror, anarki, situasi krisis dan bencana alam. Naomi Klein menyebutnya, "kapitalisme bencana". (*)

Oleh adit
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008