"Dengan memasukkan kader partai politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno dalam Kabinet Kerja Jilid II, menunjukkan pengaruh budaya politik Jawa yang kental," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Minggu pagi.
Baca juga: Susunan kabinet diragukan langsung diumumkan usai pelantikan presiden
Baca juga: Pemuda Muhammadiyah ingatkan kabinet Jokowi-Ma'ruf lebih solid
Baca juga: Pengamat: Menteri di Kabinet Kerja jilid dua harus bekerja cepat
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu ketika merespons kemungkinan komposisi Kabinet Jilid II yang terdiri atas parpol koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf dan sejumlah parpol pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga.
Menurut Teguh Yuwono, mengakomodasi semua kekuatan politik lawan dan kawan tidak lain dalam rangka mencapai harmoni atau keserasian. Jokowi termasuk pemimpin Jawa yang meyakini nilai-nilai keseimbangan itu.
"Prinsip 'ana rembug dirembug' (ada masalah dibicarakan) menjadi kunci politik Jawa yang akomodatif itu," kata Teguh yang juga alumnus Flinders University Australia.
Teguh menyebut pemerintahan lima tahun ke depan adalah pemerintahan yang akomodatif dan tidak bermaksud otoriter (berkuasa sendiri) meski kekuatan di lembaga legislatif bertambah dengan adanya kader parpol pendukung kompetitornya pada Pilpres 2019.
Hasil Pemilu Anggota DPR RI, 17 April 2019, partai pendukung Jokowi-Ma'ruf PDIP 128 kursi, Partai Golkar 85 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP 19 kursi dengan total 349 kursi atau 60,69 persen dari 575 kursi DPR.
Jika Partai Gerindra (78 kursi) dan Partai Demokrat (54 kursi) jadi bergabung, kekuatan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin di parlemen menjadi 481 kursi atau 83,65 persen.
Sementara itu, jika PKS (50 kursi) tetap pada posisinya sebagai partai oposisi, kemudian ditambah PAN (44 kursi) kekuatannya di parlemen 94 kursi atau 16,35 persen.
Teguh yakin dengan kekuatan parpol pendukung pemerintah di parlemen tidak akan menjadikan pemerintahan otoriter, tetapi yang ada guyub rukun dengan merenggut semua kekuatan pro dan kontra.
"Kalaupun ada kritik, boleh-boleh saja asal sopan. Tidak boleh frontal," kata Teguh yang juga Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019