Salah satu kurator Five Passages to the Future Evelyn Hunag di Jakarta, Senin, mengatakan dalam pameran ini menunjukkan bagaimana upaya kreatif dari seni media dapat berkontribusi dalam kehidupan sehari-hari.
"Setiap seniman dan setiap kurator mengajukan lima pendekatan mutakhir isu-isu ekopolitik, keberlangsungan, kecerdasan buatan, naratif digital, dan teknologi pakai," katanya.
Pameran yang terdiri dari lima kurator perempuan dan masing-masing memiliki keahlian dan spesialisasi sendiri.
Baca juga: Nora Ryamizard: Pelestarian seni budaya wujud bela negara
Menurut dia, ini adalah upaya kolaboratif untuk mencari solusi dalam isu ekologi ke depan. Tantangan-tantangan yang dikemukakan oleh para seniman antara lain krisis energi, ancaman ekologis, perubahan iklim dan menghadapi revolusi industri 4.0.
Seniman-seniman yang terlibat tak hanya datang dari dalam negeri tetapi juga melibatkan seniman internasional, di antaranya Cho Eun Woo dari Korea.
Eun Woo menunjukkan karyanya yang berhubungan dengan sains dan gelombang otak.
Kemudian studio desain dan fabrikasi Digital Nativ asal Indonesia yang menampilkan proyek Nada Bumi dengan menerjemahkan energi listrik dari tanaman menjadi bunyi-bunyian.
Baca juga: Menelisik Rumah Tenun Kampung Bandar, menjaga Budaya Melayu
Lalu ada Eva Bubla dari Hungaria yang karyanya mengangkat topik-topik lingkungan sebagai upaya untuk meningkatkan serta memelihara kesadaran tentang lingkungan.
Shzad Dawood adalah seniman dan peneliti berbasis London yang memperlihatkan realitas virtual di satu desa di Nepal.
Terakhir kolektif peneliti berbasis di Tokyo, Jepang, Synflux yang mencari paradigma baru pada mode dengan fokus pada riset desain dan desain mode.
Dalam pameran tersebut, pengunjung tidak hanya dapat melihat penggabungan antara sains dan seni, tetapi juga ikut menjadi bagian dari karya-karya seni tersebut.
Baca juga: Diaspora Indonesia bisa jadi ujung tombak promosi kebudayaan
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019