"Ini menjadi preseden buruk terbangunnya kualitas demokrasi Indonesia masa depan, karena tradisi oposan telah dipatahkan oleh Prabowo Subianto," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan fenomena politik nasional dengan masuknya Prabowo ke dalam kabinetnya Jokowi, dan koalisi 01 yang dibangun partai-partai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin mulai "retak, dan gigit jari" setelah Jokowi mulai melunakkan oposisi dan tidak lagi mengakomodir kepentingan politik partai koalisi pendukung 01.
Menurut Ahmad Atang, dalam politik, semua hal bisa saja terjadi, dimana hal yang tidak mungkin menjadi mungkin dan sebaliknya.
Ketika Probowo menerima tawaran Jokowi untuk masuk dalam gerbong kekuasaan, maka persepsi yang dibangun adalah matinya oposisi, karena tokohnya telah dijinakkan oleh kekuasaan.
Baca juga: Jokowi: Silahkan oposisi asal jangan menimbulkan dendam dan kebencian
Baca juga: Pengamat sepakat hidupkan oposisi untuk demokrasi berkualitas
Baca juga: Prabowo isyaratkan dua kader Gerindra masuk kabinet
Padahal Jokowi dan Prabowo merupakan rivalitas politik selama dua periode, yang menimbulkan keterbelahan publik.
Namun kini keduanya harus bergandengan tangan antara atasan dan bawahan, sehingga menggambarkan bahwa Prabowo ternyata tidak konsisten terhadap ucapannya, bahwa akan berada di luar kekuasaan sebagai penyeimbang kekuasaan.
Pada saat Prabowo tergiur oleh kekuasaan dan masuk dalam gerbong Jokowi, maka secara nyata Prabowo telah memproklamirkan kematian kaum oposan dalam pentas politik nasional, kata Ahmad Atang menambahkan.
Bahwa masih ada PAN dan PKS yang berada di luar kekuasaan sebagai oposan, namun mereka tidak memiliki cukup stamina untuk mengimbangi kekuasaan, karena ketiadaan figur sentral sebagai simbol perlawanan.
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019