Di kancah internasional hingga September 2019 masih banyak produksi musik dari keluarga besar rock antara lain Motley Crue, Slipknot, Blink 182, SUM41, Weezer, Green Day, Bring Me the Horizon, dan lain sebagainya.
Baca juga: Histori rock Indonesia, Orde Baru buka keran budaya barat
Maka tidak salah juga apabila beberapa musisi Indonesia menilai bahwa rock memang tidak mati. Mungkin para pendengarnya yang terlalu asyik dengan musik di eranya sendiri, sehingga tidak update terhadap perkembangan musik saat ini.
"Memang tidak bisa dibantah, kita sering tidak mau dengar musik yang di luar era kita," kata gitaris Edane dan mantan personel God Bless, Eet Sjahranie, kepada ANTARA.
"Mungkin lebih tepat band-bandnya yang berkurang, tapi musik rock jalan terus," katanya.
Musisi dan presenter Eddi Brokoli juga menilai rock tidak mati, melainkan hadir dengan kemasan lain yang tidak tertangkap media konvensional, misalnya televisi, sehingga anggapan itu muncul.
"Coba tengok Youtube. Ketik 'rock 2019' segala macam rock dengan berbagai kemasan ada. Mulai dari musik terbarunya, video klip, sampai channel khusus rock yang macam-macam itu," kata Eddi.
Di panggung nasional masih ada Seringai, Burgerkill, Superman is Dead, Kelompok Penerbang Roket, hingga Navicula. Saintloco bahkan merilis single "Nakal" dan Cokelat mengenalkan "Anak Garuda" pada tahun ini.
Baca juga: Histori rock Indonesia, lahirnya musisi legenda
Kendati demikian, akan terlalu naif jika menggambarkan skena musik rock di Indonesia sedang baik-baik saja. Istilah stagnasi mungkin tepat untuk menggambarkan hal itu.
Stagnasi terjadi karena tidak ada hal yang benar-benar baru dan segar yang bisa ditawarkan musik rock di era sekarang.
"Sebetulnya perkembangan sementara ini sedang stagnan karena semuanya sudah terlaksana. Semua hal sudah dilakukan, jadi seolah tidak ada hal baru," kata Eet.
Eet menggambarkan bahwa musisi rock sudah berupaya menghadirkan hal yang segar sejak era 1990-an, baik itu lewat kolaborasi atau menghadirkan hal baru pada album rekaman. Saat industri rekaman meredup, musisi rock juga menghadirkan kreasi baru di panggung.
"Kolaborasi biasanya banyak di panggung ketimbang rekaman, karena peluangnya akan terbuka lebih banyak di panggung. Misalnya saya sering banget bareng sama God Bless," katanya.
Mencari sosok jenius
Gitaris Cokelat, Edwin Marshal Syarif, menilai bahwa stagnasi di musik rock tidak perlu diperdebatkan, melainkan menjadi tantangan bagi para musisi untuk menghasilkan karya baru.
"Sejak dahulu ya, rock itu pasarnya unik. Musik rock bukan santapan banyak orang. Tapi pendengarnya loyal, bahkan tumbuh kok, meski tak jadi menu mainstream," katanya.
Baca juga: Jejak kaum hawa dalam histori rock Indonesia
Sayangnya untuk melahirkan hal baru di dunia rock tidaklah mudah. Sosok jenius yang bisa membuat rock tidak berjalan di tempat justru tidak kunjung hadir di Indonesia.
Sosok jenius masih berputar di nama Ian Antono, Ahmad Albar, Aziz MS Jamrud, Piyu Padi, Eross Sheila on 7, Jerinx Superman Is Dead, Ahmad Dhani, Pay Burman Siburian dan nama-nama lainnya yang tidak terlalu banyak untuk disebutkan.
Alih-alih bereksperimen mencari hal baru, ternyata banyak juga yang memilih untuk bertahan dengan karakternya. Hal baru mungkin akan menggaet pendengar muda, namun bisa saja menuai protes dari penggemar lama bukan?
Penggemar hard rock pasti condong menyukai musik dari gitaris skill level tinggi dengan lirik romansa ketimbang musik rock alternatif yang ditawarkan beberapa tahun lalu.
Baca juga: Histori Rock Indonesia, saat britpop lebih dikenal indies
Atau penggemar punk rock akan masuk ke dunia lain saat menyaksikan vokalis kesayangan menggendong gitar sambil bernyanyi dengan tiga chord bertempo cepat, daripada menguping sebaris lagu dari band punk yang bereksperimen dengan suara digital synthesizer.
Bahkan, saat ini rasanya lebih mudah mencari band yang memainkan musik "mundur" ke era 1970-1980-an, misalnya rock n'roll, metal dan hardcore.
Apakah musik rock yang benar-benar segar itu memang sudah tidak ada?
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019