Ashabul Kahfi adalah kisah tentang tujuh pemuda yang tertidur lelap di dalam gua selama 309 tahun, bersembunyi untuk melarikan diri dari kekejaman Raja Dikyanus.Kajian Al Quran di Indonesia perlu diperkuat dalam penelitian perkembangan kitab tafsir dan metodologi
Kisah mereka tersemat abadi dalam Al Quran Surat Al Kahfi dan menjadi pelajaran tentang banyak hal termasuk tentang keberimanan para pemuda sehingga Tuhan menempatkan mereka dalam keselamatan yang tak putus.
Inspirasi besar dalam kisah itu menjadi salah satu penopang bagi seorang pemuda bernama Hasani Ahmad Said untuk memperdalam dan mengkaji kitab.
Kesungguhannya untuk mendalami ilmu tafsir Al Quran mengantarkannya sebagai doktor termuda, tercepat, dan terbaik untuk lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada usia yang belum genap 30 tahun.
Baca juga: Sumpah pemuda, Menkominfo pesan anak muda terus berinovasi
Dalam perannya menafsir Al Quran pula, Hasani menjadi lulusan terbaik Pendidikan Kader Mufassir (PKM) Pusat Studi Al-Qur'an pimpinan Prof. Dr. M. Quraish Shihab pada 2010.
Ia saat ini menjadi Anggota Dewan Pakar muda Pusat Studi Al-Qur'an. Melalui lembaga ini juga ia mengikuti Sandwich Program selama 3 bulan penelitian Post Doktoral ke Mesir, pada 2011.
Seiring berjalannya waktu, Hasani mendapati masih sedikit pemuda yang tertarik untuk terjun dalam studi Al Quran. Padahal kajian tentang Al Quran masih lah amat sangat terbentang luas.
Hal itulah yang mendorong pria yang kini berprofesi sebagai dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu tak segan road show untuk menggugah semangat pemuda untuk mendalami ilmu tafsir Al Quran.
Tak semata di dalam negeri, Hasani terbiasa untuk memaparkan perkembangan studi Al-Quran di berbagai negara termasuk salah satunya yang terbaru ke Jerman untuk menyajikan perbandingan kajian Al Quran di Indonesia dan Jerman.
Dalam pemaparannya, Hasani menjelaskan peta kajian studi Al-Quran di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua kitab induk (ummahat al-kutub) ulum al-Qur'an itu sendiri yakni al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 794) dan al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an karya Jalal al-Din al-Zarkasyi (w. 911).
Menurut Direktur Pusat Elhasani -Pusat Studi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir - itu fokus dan lokus kajian Al-Qur'an di Indonesia masih menitikberatkan pada tekstualitas Al-Qur'an belum menuju kepada realitasnya.
Stigma Negatif
Hasani melihat saat ini kajian Al Quran di Indonesia mulai diperkuat dengan aspek epistemologinya. " Kajian Al Quran di Indonesia perlu diperkuat dalam hal ini penelitian aspek perkembangan kitab tafsir dan metodologi."
Maka menurut dia dari sisi epistemologi, perlu dikembangkan tiga aspek yaitu Al-Qur'an sebagai teks, Al-Qur'an sebagai kultur, dan Al-Qur'an sebagai artefak.
Di sisi lain, studi Al-Qur'an di Barat memotret tiga hal yaitu penerjemahan Al Quran, keterpengaruhan Yahudi terhadap Al-Qur'an dan kajian kritis terhadap teks Al-Qur'an.
Hasani yang Doktor Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan berpangkat Lektor Kepala itu menyayangkan citra dan persepsi Barat terhadap Islam yang belum bisa lepas dari stigma negatif yang menganggap Islam sebagai musuh Kristen.
Baca juga: Cinta Laura ajak generasi muda bangga dengan identitas Indonesia
Ia pun banyak berdiskusi dengan pembicara dan ahli dari Jerman seperti Prof. Dr. Sebastian Vollmer dari Georg August Universitat Gottingen, Prof. Dr. Jan Van Der Putten dari Universitat Hamburg dan Prof. Dr. Ing. Hendro Wicaksono dari Jacob Universitat Bremen Jerman perihal keilmuannya.
Satu hal pelajaran sederhana dari Hasani adalah kesungguhannya mengkaji Al Quran telah mengantarkannya ke berbagai negeri. Baginya perjuangan belum berakhir sampai ketika ada lebih banyak anak muda yang “jatuh cinta” kepada Al Quran.
Pilihan Perjuangan
Bagi anak muda, perjuangan merupakan pilihan termasuk Hasani yang memilih Al Quran sebagai jalan hidupnya. Disadari benar bahwa sejatinya apapun pilihan jalan perjuangan bagi kaum muda saat ini tak pernah ada yang salah atau keliru.
Sebagaimana Al Quran telah mengantarkannya ke berbagai belahan negeri di dunia ini, sesuatu yang menjadi impian Hasani di masa-masa lampau dan ia wujudkan kini.
Hasani tak pernah berhenti mengkaji bahkan salah satu hobinya adalah membaca dan menuliskan kembali tafsir dari segala sesuatu yang terlintas dalam benaknya.
Ia mengatakan siapapun bisa mewujudkan apa saja yang diinginkan sebagai cita-citanya asalkan bersungguh-sungguh dalam mencapainya.
Mereka bebas memilih dan jiwa muda memang cenderung menyukai iklim kebebasan yang membuat mereka semakin kreatif.
Sumpah Pemuda pun sejatinya merupakan produk kreatif anak muda pada zamannya yang menjadi buah inspirasi yang tak pernah usang. Makna Sumpah Pemuda saat ini semakin keren ketika diskiapi secara arif oleh sebagian besar generasi milenial di Tanah Air untuk berkarya.
Karya anak muda umumnya tak pernah kuno, karena mereka selalu mampu melihat segala sesuatu dari sisi yang tak pernah terpikirkan oleh kaum yang lebih tua.
Hasani menjadi salah satu dari sekian banyak anak muda yang ingin mewujudkan peran generasinya yang signifikan kepada bangsa. Sosok seperti Hasani boleh jadi tak banyak di Tanah Air. Oleh karena itu, kehadirannya sangat diperlukan sebagai inspirasi menuju Indonesia Maju.
Ia perlu direplikasi agar lebih banyak anak muda tidak sekadar menghabiskan waktu yang tidak berguna namun memanfaatkan peluang untuk belajar.
Proses tidak akan pernah mengkhianati hasil sebagaimana usaha tidak akan pernah berbohong ketika sampai pada tujuan akhirnya.
Ia menekankan pentingnya anak muda untuk belajar mendewasakan dirinya dengan membaca dan mengkaji kitab-kitab. Selain itu beragama dengan santun juga akan mengantarkan siapapun ke tangga kehormatan yang penuh dengan penghargaan.
Baca juga: Hasani Ahmad Said bekal Al-Quran Mengantarnya ke Tanah Suci
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019