Kajian akademis tersebut direncanakan dengan biaya sebesar Rp410 juta pada tahun depan dan disampaikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Andono Warih dalam rapat pembahasan anggaran di Komisi D DPRD DKI Jakarta, Jumat.
Pihaknya selama ini mempublikasikan kualitas pemantauan udara dalam parameter PM 10 dan terlibat debat dengan LSM kenapa tidak menggunakan PM 2.5 yang belum ada dasar kajiannya.
"Sehingga ini kita perlu lakukan dasar kajiannya untuk standarisasi penggunaan PM 2.5," kata Andono Warih.
Dalam situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Partikulat (PM2.5) merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer).
Baca juga: Karnaval Jakarta Langit Biru kurangi polusi udara hingga 35 persen
Baca juga: Hakim tolak penggugat intervensi dalam kasus Polusi Udara Jakarta
Anggaran tersebut akhirnya disetujui karena kajian melibatkan pihak akademisi dan profesional pekerja yang bukan merupakan pegawai dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
"Ini kan melibatkan pakar dan tenaga profesional. Kalau PNS LH ga perlu pembiayaan tapi karena melibatkan profesional dan pakar ya tentu kita setujui," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah.
Dalam lima bulan terakhir, Jakarta mendapatkan sorotan khusus karena termasuk ke dalam kota yang memiliki kualitas udara buruk di dunia berdasarkan situs AirVisual.com yang menggunakan PM 2.5 sebagai parameter ukuran kualitas udara.
Dalam jangka waktu itu diketahui Jakarta selalu melebihi nilai ambang batas (NAB) konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan dalam ambien PM 2.5, yaitu sebesar 65 µg/m³.
Karena itu, Dinas Lingkungan Hidup melakukan kajian agar PM 2.5 dapat secara resmi digunakan untuk pengukuran kualitas udara di Jakarta sehingga dapat terkontrol.
PM 2.5 juga diketahui digunakan sebagai standar yang digunakan WHO (World Health Organization) dalam pengukuran kualitas udara.
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019