UU Kepailitan Tidak Memperhatikan Nasib Buruh

26 Agustus 2008 18:40 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Undang-Undang (UU) Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memperhatikan nasib buruh di Indonesia. Hal itu disampaikan Surya Candra (ahli hukum perburuhan) dan Rizal Ramli (mantan Menko Perekonomian), saat memberikan keterangan dalam sidang uji UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa. Surya Candra mengatakan ketika terjadi kepailitan, UU Kepailitan tidak mengedepankan upah buruh melainkan mendahulukan kreditur separatis. "Ini berbeda dari UU Ketenagakerjaan yang mengamanatkan agar hak buruh didahulukan, karena itu kita harus kembali ke konstitusi," katanya. Pemohon uji materi UU tersebut, yakni, M Komaruddin, Muhammad Hafiz, dan Kristihanto, yang menganggap Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 138 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pasal 29 itu menghapuskan kemungkinan penyelesaian perselisihan melalui jalur pengadilan hubungan industrial ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit, dan Pasal 55 ayat (1) yang tidak memberikan hak kepada kaum buruh dan hanya memberikan hak kepada kreditor separatis untuk mengeksekusi haknya seolah tidak terjadi kepailitan. Surya Candra mengingatkan UUD 1945 merupakan proteksi terhadap hak-hak warga negara, bukan terhadap hak-hak korporasi. "Karena itu, kita harus kembali ke konstitusi UUD 1945," katanya. Hal senada dikatakan oleh Rizal Ramli, yang menyatakan penerapan upah buruh saat perusahaan pailit di Indonesia, tidak membela pekerja melainkan mengedepankan kreditur separatis. "Berbeda halnya dengan di Amerika, upah tenaga kerja dikategorikan sebagai "expenses" atau pengeluaran, hingga upah buruh didahulukan daripada kreditur separatis," katanya. Perbedaan penerapan upah tenaga kerja di Indonesia itu, kata dia, akibat kondisi perindustrian Indonesia yang mayoritas padat karya. Padahal, industri pola Indonesia itu, merupakan, industri yang rentan pailit dan cenderung banyak utang. "Rasio investasinya 1:5, yakni, 1 modal, 5 utang. Karena itu, ketika terjadi kepailitan, harta perusahaan habis untuk kreditur separatis," katanya.(*)


Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008