COP25 berpindah dari Brazil hingga Spanyol

1 November 2019 15:51 WIB
COP25 berpindah dari Brazil hingga Spanyol
Ribuan orang melakukan demonstrasi perubahan iklim dengan aktivis remaja perubahan iklim Greta Thunberg di Vancouver, British Columbia, Kanada, Jumat (25/10/2019). REUTERS/Jennifer Gauthier/wsj/cfo (REUTERS/JENNIFER GAUTHIER)

Konferensi Perubahan Iklim PBB (Conference of Parties/COP) ke-25 telah berpindah penyelenggara dua kali sejak Brazil diumumkan menjadi tuan rumah agenda tahunan iklim global tersebut.

Presiden Brazil Jair Bolsonaro yang pada akhir 2018 baru saja terpilih, membatalkan rencana negaranya untuk menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim tahunan PBB tersebut, atas alasan perubahan pemerintahan dan keterbatasan anggaran.

Walaupun tidak menjadi tuan rumah COP25 lagi, Pemerintahan Brazil di bawah kepemimpinan Presiden Bolsonaro juga telah menyatakan sikap akan mengambil posisi sebagai protagonis dalam banyak negosiasi kunci di konferensi perubahan iklim PBB tersebut, termasuk yang berkaitan dengan aturan pasar karbon dan pendanaan untuk negara-negara berkembang.

Baca juga: Spanyol menawarkan diri untuk konferensi perubahan iklim COP25

Meski menarik diri sebagai penyelenggara konferensi namun Brazil tetap pada komitmen ambisiusnya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di bawah Paris Agreement, di mana negara Amerika Latin tersebut berjanji mengurangi emisi 37 persen di 2025 dibandingkan 2005 dengan komitmen yang lebih longgar naik hingga 43 persen di 2030.

Negara dengan populasi terbesar di Amerika Selatan itu juga tetap bersuara lantang mengingatkan komitmen negara-negara maju yang berjanji sebelum Paris Agreement disepakati di COP21, Paris, untuk memobilisasi 100 miliar dolar AS dalam bentuk pembiayaan tahunan untuk mendukung inisiatif iklim negara-negara berkembang pada 2020.

Brazil merupakan negara dengan wilayah terbesar di Amerika Selatan dan kelima terbesar di dunia, sekaligus salah satu pemilik hutan hujan tropis terbesar dunia yakni Amazon. Senasib dengan Indonesia selaku pemilik hutan, negara ini kerap menjadi sorotan dunia karena deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Karhutla di Amazon pada musim panas tahun ini memicu kemarahan publik global dan menyudutkan kebijakan Pemerintahan Presiden Bolsonaro yang memberikan izin pembukaan lahan yang semula merupakan area dilindungi untuk keperluan padang rumput untuk ternak dan komoditas lainnya di Hutan Amazon.

Baca juga: COP25 batal di Chile, Greta Thunberg terhenti di Amerika Utara

Kemarahan tidak hanya berhenti ke Pemerintah Brazil, tetapi juga merembet ke Pemerintah China karena disebutkan perusahaan-perusahaan milik negara mereka memiliki nilai investasi mencapai 40 persen dari total investasi Negeri Tirai Bambu di Brazil yang mencapai 58 miliar dolar AS sejak 2007 hingga 2018 di berbagai sektor mulai dari minyak, kedelai, mineral, listrik, infrastruktur hingga teknologi.

Dunia meminta China secara politik memberikan pengaruhnya untuk dapat mengambil peran menjaga ekosistem Amazon yang unik.

Kebakaran di sana menjadi pukulan telak bagi ilmuwan-ilmuwan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) yang baru saja mengeluarkan laporan khususnya untuk perubahan iklim dan lahan (Special Report on Climate Change and Land/SRCCL) dan laporan khusus untuk laut dan kriosfer dalam sebuah perubahan iklim (Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate/SROCC) berkaitan dengan desertifikasi (degradasi padang pasir), degradasi lahan, keamanan pangan dan perubahan GRK di mana tanah menjadi salah satu penyumbang emisi, kata salah satu peneliti LIPI yang juga anggota IPCC dari Indonesia Intan Suci.

 

Chile juga mundur

Chile terpilih menjadi tuan rumah atau Presidency COP25 sebulan setelah Brazil mundur. Kosta Rika yang menjadi calon utama perwakilan dari Amerika Latin setelah Brazil juga sudah mundur terlebih dulu karena persoalan biaya untuk menjadi tuan rumah.

Negara paling selatan di benua Amerika yang menghadap langsung Samudera Pasifik ini telah menyiapkan lokasi di Parque Bicentenario Cerrillos di Santiago de Chile seluas 30 hektare (ha) sebagai tempat pelaksaan konferensi iklim tersebut. Tenda-tenda putih berukuran sangat besar telah didirikan untuk lokasi pleno atau paripurna, negosiasi, delegasi, VIP dan acara sampingan yang mampu menampung lebih dari 10.000 peserta konferensi.

Baca juga: COP25 penting karena Chile hendak dorong implementasi Paris Agreement

Keputusan pembatalan pelaksanan COP25 di Santiago diambil Presiden Chile Sebastián Piñera setelah aksi damai lebih dari sejuta orang minggu lalu menuntut keadilan sosial. Aksi damai yang berujung kekerasan yang awalnya memprotes kenaikan biaya metro dan bus berlanjut dengan demonstrasi besar-besaran yang memprotes semakin lebarnya jurang sosial antara mereka yang miskin dengan yang kaya.

Data dari Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) menyebutkan Chile menjadi salah satu dari 36 negara Amerika Latin anggota organisasi tersebut yang memiliki tingkat kesetaraan pendapatan terburuk.

Jika angka 1 mewakili “ketidaksetaraan lengkap” dan 0 sebagai “kesetaraan lengkap”, maka Chile ada di atas angka 0,45, sementara Turki ada di angka 0,4, Amerika Serikat sekitar angka 0,39, Jerman sekitar 0,29, dan Denmark 0,26.

Terkait dengan pembatalan COP25 yang pelaksanaannya tinggal sebulan lagi, tentu membuat syok peserta konferensi maupun acara sampingannya. Persiapan sudah dilaksanakan, tiket dan akomodasi telah dipesan, bahkan mungkin visa sudah diperoleh.

Baca juga: Demo perubahan iklim, aktris senior Jane Fonda diciduk polisi

Meski, menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, itu sudah menjadi risiko peserta konferensi. Sebagian delegasi Indonesia (Delri) sudah ada yang memesan tiket pesawat bahkan akomodasi untuk dua minggu.

Bagaimanapun COP25, menurut dia, penting untuk mendorong implementasi Paris Agreement yang segera berlaku pada 2020 hingga 2030, dengan target menurunkan emisi GRK untuk menekan peningkatan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat celsius.

 

Spanyol mengajukan diri

Bagaimanapun negosiasi iklim yang melibatkan hampir 200 negara di dunia yang kini sudah berjalan seperempat abad tersebut harus dapat membuahkan hasil nyata.

Kelambanan dan komitmen setengah hati dalam negosiasi hanya akan memicu gelombang aksi iklim lebih besar di seluruh dunia. Tinggal satu tahun sebelum Paris Agreement berjalan, tidak ada rambu putar balik di sana.

Kamis waktu setempat (31/10), Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Patricia Espinosa mengeluarkan pernyataan di laman resmi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB bahwa Pemerintah Chile telah menginformasikan padanya menerima tawaran murah hati dari Spanyol untuk menggelar agenda pengendalian perubahan iklim tersebut.

Spanyol telah menyanggupi untuk menggelar COP25 di Madrid pada tanggal yang sama seperti yang telah direncanakan yakni 2-13 Desember 2019. “Kami berharap Biro COP dapat mempertimbangkan tawaran solusi ini secepatnya,” kata Espinosa.

Sangat menggembirakan melihat negara-negara bekerja sama dalam semangat multilateral untuk menghadapi perubahan iklim, tantangan terbesar yang dihadapi generasi sekarang dan masa depan, ujar dia.

Namun keputusan belum diambil untuk lokasi dan waktu penyelenggaran pasti COP25, menunggu hasil keputusan dari Bonn, Jerman, Senin mendatang (4/11), termasuk apakah Presidency COP tetap ada di tangan Chile.

Baca juga: Indonesia serukan isu kelautan masuk instrumen perubahan iklim

Baca juga: Anak Indonesia jawab seruan panik Greta Thunberg untuk perubahan iklim

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019