Subsidi Tol Laut 2020 Rp436 miliar

1 November 2019 16:51 WIB
Subsidi Tol Laut 2020 Rp436 miliar
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko saat diskusi di ruang wartawan Kemenhub, Jakarta, Jumat (1/11/2019). ANTARA/Juwita Trisna Rahayu/am.

Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perhubungan mengalokasikan dana untuk subsidi tol laut tahun 2020 sebesar Rp436 miliar.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko dalam diskusi di ruang wartawan Kemenhub, Jakarta, Jumat mengatakan penambahan anggaran subsidi itu dikarenakan bertambahnya pula trayek Tol Laut pada tahun depan.

“Untuk subsidi Tol Laut tahun 2020 itu Rp436 miliar atau naik dari tahun ini dengan penyesuaian dan sebagainya hampir Rp300 miliar,” katanya.

Baca juga: Pengamat setuju dengan usul evaluasi subsidi Tol Laut

Saat ini, dia menyebutkan, trayek Tol Laut sudah mencapai 19 trayek di seluruh Indonesia dan akan menjadi 23 trayek di 2020.

“Kalau dengan Papua mungkin akan bertambah jadi 26, ada Boven Digul, Yahukimo, Mamberamo termasuk di dalamnya,” katanya.

Adapun, trayek yang akan dilelang ke pihak swasta sebanyak enam trayek dan lelang akan dimulai pada November ini.

“Kita usahakan pertengahan November. Ini kita lelang tidak mengikat ya supaya bisa lebih cepat,” katanya.

Baca juga: Menhub ancam cabut subsidi tol laut jika tak penuhi target

Selain itu, Wisnu menyebutkan ada satu tambahan trayek, yaitu jalur Jawa Selatan, tepatnya di Cilacap.

“Cilacap itu kan ada pelabuhan yang baru, sekarang kita masuk kesitu. Nanti dari Cilacap ke Bali, kemudian ke Pacitan,” katanya.

Ia mengatakan program Tol Laut masih tetap dibutuhkan, terutama untuk wilayah terdepan, terluar dan terpencil (3T) yang tidak bisa mengandalkan kapal komersil karena harganya akan sangat tinggi.

“Komersial ‘kan harganya berdasarkan pasar, pasti akan mahal, Nah, Tol Laut ini bisa kirim lebih murah,” katanya.

Hanya saja, Wisnu mengaku bahwa Tol Laut belum mendapatkan hasil (outcome) yang maksimal, terutama untuk angkutan balik serta masih adanya indikasi praktik monopoli sehingga harga di wilayah target masih tinggi.

“Bukan berarti enggak ada dampaknya, padahal sebetulnya itu ada pada ‘shipper’, jasa pengurusan, kemudian ‘consignee’ (importir) dan perusahaan pelayaran itu menjadi komponen yang sama-sama harus kita awasi,” katanya.

Wisnu menyebutkan tingkat keterisian angkutan berangkat mencapai 75 persen, namun angkutan balik masih di bawah 20 persen yang salah satunya disebabkan industri di wilayah belum dikembangkan dengan baik.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019